Dunia amil zakat tidak hanya bicara tentang angka penghimpunan, tetapi juga tentang manusia, nilai, dan spirit dakwah. Hal ini disampaikan oleh General Manager Zakat Funding Nasional (GM ZFN) Inisiatif Zakat Indonesia (IZI) Sutanto dalam Expert Talk yang selenggarakan Akademizi bertemakan “Strategi Kepemimpinan Kepala Cabang Lembaga Zakat” yang berlangsung pada Rabu (29/10/2025).
Sutanto mengawali paparannya dengan refleksi perjalanan panjangnya sebagai amil. Ia menegaskan, mencapai target penghimpunan tidak boleh dilakukan dalam tekanan, melainkan dengan kesadaran, kesabaran, dan strategi yang matang.
“Kita mencapai target bukan karena tekanan, tapi karena semangat dan kesadaran bersama. Mengelola cabang lembaga zakat harus sabar. Kaderisasi pimpinan dan staf itu keniscayaan,” ujar Sutanto.
Menurutnya, banyak kantor cabang lembaga amil zakat (LAZ) di daerah masih menghadapi tantangan serius pada kualitas sumber daya manusia. “Kebanyakan karyawan di cabang kualitasnya masih biasa-biasa saja,” katanya. Untuk itu, ia menggagas klinik sales, sebuah ruang pelatihan praktik lapangan bagi amil agar mampu memahami medan dakwah zakat dan memperkuat kemampuan fundraising.
“Ketika saya jadi kepala cabang, saya buka klinik sales. Hasilnya, penghimpunan cabang justru bisa lebih tinggi dari pusat,” ungkapnya.
Sutanto menekankan bahwa membuka cabang baru harus disertai perhitungan biaya dan potensi agar tidak menjadi beban lembaga. Ia juga menekankan pentingnya menemukan why — alasan mendasar mengapa seseorang menjadi amil. “Kalau tidak punya why, orang bekerja hanya sekadar menggugurkan kewajiban. Tapi kalau tahu why-nya, mereka akan bekerja dengan semangat ibadah,” katanya.
Dalam pandangan Sutanto, seorang kepala cabang harus menjalankan empat peran besar secara bersamaan: great salesman, mentor, friend, dan inspirator.
Kepala cabang harus mampu menjual visi dan nilai lembaga zakat, bukan sekadar mengumpulkan dana. Ia harus meyakinkan calon donatur bahwa zakat adalah investasi sosial yang membawa berkah dan reputasi baik. “Menjadi salesman berarti menjual nilai, bukan hanya produk. Bukan sekadar bicara angka zakat, tapi menanamkan kepercayaan dan manfaat sosialnya,” jelasnya.
Kepala cabang juga harus menjadi pembimbing yang membangun tim, bukan sekadar memberi perintah. Ia harus menumbuhkan kompetensi dan karakter amanah pada setiap amil. Sutanto mencontohkan pentingnya coaching session rutin dan evaluasi komunikasi dengan donatur agar tim berkembang. “Pemimpin cabang yang baik bukan hanya mengarahkan, tapi menumbuhkan,” katanya.
Seorang pemimpin cabang, lanjut Sutanto, juga perlu menjadi sahabat bagi semua pihak: amil, mustahik, maupun muzakki. Hubungan yang humanis akan menumbuhkan kepercayaan dan loyalitas. Ia kerap mendatangi rumah mustahik sekadar untuk berbincang santai. “Kedekatan emosional itulah yang menumbuhkan loyalitas spiritual,” ujarnya.
Kepala cabang adalah wajah lembaga zakat di daerah. Ia harus menularkan semangat perubahan, membangun optimisme, dan memberi teladan. “Seorang inspirator itu bukan yang paling pintar bicara, tapi yang paling konsisten memberi contoh,” kata Sutanto.
Selain empat peran kepemimpinan, Sutanto juga menekankan bahwa seorang fundraisir zakat sejati harus memiliki tiga pilar kompetensi utama: pengetahuan, skill, dan ruhiyah.
Fundraisir perlu memahami cara menyampaikan pesan zakat dengan jelas dan menyentuh. Ia harus menguasai hukum zakat, manfaat sosialnya, dan cara presentasi yang sesuai dengan audiens. “Fundraisir yang berilmu tidak hanya menjelaskan angka, tapi mampu menggugah hati,” ujar Sutanto.
Keterampilan komunikasi, negosiasi, dan storytelling sangat penting dalam dunia fundraising. Kemampuan ini tidak datang tiba-tiba, melainkan hasil latihan berulang dan pengalaman. Sutanto menyarankan agar para amil rajin mengikuti pelatihan dan simulasi presentasi. “Skill itu ibarat otot — semakin sering digunakan, semakin kuat,” tegasnya.
Pilar terakhir, menurut Sutanto, adalah ruhiyah — niat tulus dan kesadaran spiritual bahwa semua hasil datang dari Allah. “Fundraising itu dakwah, bukan jualan. Kalau ruhiyahnya kuat, penolakan tidak membuat kecewa, justru menambah keikhlasan,” ujarnya.
Di akhir paparannya, Sutanto menyimpulkan bahwa keberhasilan kepala cabang dan fundraisir zakat bergantung pada kemampuan menggabungkan strategi profesional dengan kekuatan spiritual.





