Pengamat intelijen dan geopolitik Amir Hamzah menyoroti adanya indikasi kuat bahwa gerakan jaringan internasional yang dikendalikan oleh George Soros tengah aktif di Indonesia. Menurutnya, jaringan tersebut memanfaatkan jalur LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dan lembaga-lembaga donor global untuk mengintervensi kedaulatan ekonomi dan politik nasional di Pemerintahan Prabowo Subianto.
Amir Hamzah menjelaskan bahwa strategi global Soros selama beberapa dekade terakhir selalu berbasis pada pola yang sama — melemahkan moneter nasional suatu negara, memicu instabilitas politik, kemudian membuka ruang intervensi ekonomi melalui mekanisme utang dan investasi lintas negara.
“Gerakan George Soros melalui jaringan LSM tampak seperti advokasi demokrasi atau HAM, tapi sesungguhnya itu adalah operasi lunak (soft operation) untuk merusak stabilitas moneter nasional, agar negara sasaran kehilangan kemandirian dalam mengelola sumber daya alamnya,” ungkap Amir Hamzah kepada wartawan, Selasa (28/10/2025).
Amir menjelaskan bahwa hubungan antara Soros dan China tidak bisa dilepaskan dari struktur modal global. Berdasarkan pengamatannya, sekitar 50 persen investasi asing di China memiliki latar belakang pemodal Yahudi (Zionis) yang sebagian besar terkait dengan aset dan likuiditas Soros yang beroperasi di bawah berbagai payung perusahaan keuangan internasional.
“Selama pemerintahan Jokowi, kondisi ini aman karena tidak ada kebijakan konfrontatif terhadap China. Tapi ketika pemerintahan Prabowo mulai melakukan penataan ulang terhadap investasi dan pinjaman luar negeri, terutama dari China, ini otomatis menimbulkan efek domino terhadap jaringan modal Soros di Asia,” kata Amir.
Kebijakan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, yang kini tengah mengkaji ulang sejumlah perjanjian investasi besar—termasuk proyek Kereta Cepat Jakarta–Padalarang (KCJB) dan pembiayaan Ibu Kota Nusantara (IKN)—menjadi titik perhatian penting.
Amir menyebut langkah Purbaya ini merupakan gerakan berani, namun berpotensi menimbulkan gesekan strategis dengan kepentingan finansial global, terutama yang berafiliasi dengan Soros.
“Ketika Indonesia mulai menata ulang arah investasi asing dan tidak lagi menjadi pasar bebas bagi modal spekulatif, maka jaringan global akan merasa terganggu. Mereka bisa menggunakan berbagai cara untuk menekan, termasuk menggerakkan LSM, media, dan opini publik untuk mendeligitimasi pemerintah,” tambahnya.
Amir menguraikan bahwa tanda-tanda gerakan sistematis ini bisa dilihat dari naiknya tensi sosial dan politik dalam beberapa bulan terakhir, terutama di sektor ekonomi, energi, dan keamanan digital. Ia menyebut munculnya isu-isu “rekayasa krisis” seperti demonstrasi bertema lingkungan atau protes investasi asing sebagai bagian dari proxy movement yang beroperasi dalam jaringan lembaga nonpemerintah.
“Kalau diamati, pola gerakannya sama dengan yang dulu terjadi di Eropa Timur dan Amerika Latin: mulai dari advokasi hak sipil, kemudian berlanjut ke delegitimasi kebijakan pemerintah, lalu memicu instabilitas pasar dan pelemahan nilai tukar. Semua diarahkan untuk membuka ruang bagi intervensi finansial,” ujar Amir.
Dalam konteks Indonesia, Amir menilai target utamanya bukan sekadar ekonomi, tapi juga kedaulatan geopolitik. Indonesia dengan kekayaan sumber daya alam dan posisi strategis di Indo-Pasifik menjadi kunci persaingan antara blok modal Barat dan Timur.
“Kita sekarang berada di tengah pertarungan besar antara kekuatan dolar dan yuan. Soros memegang posisi penting di jembatan antara dua kekuatan ini. Maka, setiap langkah Indonesia yang berpotensi mengubah keseimbangan investasi, pasti akan disikapi dengan reaksi intelijen global,” jelasnya.
Amir menegaskan bahwa negara harus siap menghadapi perang non-konvensional di era global saat ini. Ia menilai perang modern tidak lagi mengandalkan senjata, melainkan manipulasi data, opini publik, dan tekanan ekonomi.
“Skenario yang sedang berjalan adalah operasi destabilisasi. Targetnya bukan menggulingkan pemerintahan secara langsung, melainkan melemahkan konsolidasi ekonomi agar kebijakan kemandirian finansial tidak berhasil. Ini adalah bentuk perang hibrida,” katanya.
Oleh karena itu, Amir menyarankan pemerintah memperkuat sistem pertahanan non-militer, termasuk intelijen ekonomi dan siber, memperketat audit lembaga donor dan LSM asing, serta memperkuat posisi hukum nasional terhadap aliran dana lintas batas.
“Langkah Prabowo yang menegaskan kedaulatan ekonomi nasional harus diikuti dengan kesiapsiagaan intelijen. Jangan sampai kita lengah karena perang ini tidak terlihat secara kasat mata,” tutupnya.





