Konsekuensi Status Tanah Pertanian di Atas Tanah Pekarangan dalam Program PTSL Lamongan

Sejumlah tanah pekarangan milik warga Lamongan yang ikut dalam Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) tercatat sebagai tanah pertanian dalam Sertifikat Hak Milik (SHM). Kondisi ini menimbulkan berbagai kendala hukum dan administratif bagi pemilik lahan.

Ketua LSM Brandal, Muklas, kepada SNN News pada Rabu (16/10/2025) mengungkapkan bahwa banyak warga tidak mengetahui jika tanah pekarangan mereka yang diikutkan dalam PTSL justru dikategorikan sebagai lahan pertanian.

“Banyak tanah pekarangan warga yang dalam sertifikat hasil PTSL tercatat sebagai tanah pertanian,” ujar Muklas.

Menurut Muklas, status tanah pertanian membawa sejumlah konsekuensi hukum. “Tanah pertanian tidak dapat digunakan untuk mendirikan bangunan atau dikapling untuk dijual sebagian. Hal ini sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan di bidang pertanahan,” jelasnya.

Lebih lanjut, ia menambahkan bahwa perubahan status lahan dari pertanian menjadi pekarangan atau tanah kering harus melalui prosedur yang cukup rumit dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Baca juga:  Warga Desa Puter Tagih CSR PT Quality Works, Kades: Sejak Awal Tak Pernah Ada Bantuan

“Untuk mengubah status lahan pertanian ke pekarangan harus mengikuti prosedur resmi dan menyiapkan biaya yang cukup besar,” imbuhnya.

Muklas merinci dasar hukumnya, yakni UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, jo UU Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
Selain itu, terdapat aturan turunan seperti PP Nomor 16 Tahun 2014 tentang Penatagunaan Tanah, Perpres Nomor 59 Tahun 2019 tentang Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah, serta Permen ATR/BPN Nomor 2 Tahun 2024 tentang Pedoman Penetapan dan Pengendalian Lahan Sawah yang Dilindungi (LSD).

Salah satu peserta PTSL, Aliyah, warga Desa Kemelagi Elor, Kecamatan Turi, mengaku tidak mengetahui dampak pencatatan tanah pekarangannya sebagai lahan pertanian. Ia kini mengalami kesulitan ketika hendak memecah sertifikat tanahnya untuk dijual sebagian.

“Saya mau menjual sebagian tanah pekarangan, tapi terhambat karena status tanahnya tercatat sebagai tanah pertanian,” ungkap Aliyah pada Selasa (25/10/2025).

Ia menjelaskan, proses pemecahan atau pemisahan tanah baru dapat dilakukan apabila status tanah telah diubah menjadi tanah kering.

Baca juga:  Semarak Sedekah Bumi Dusun Klating Lamongan: Merawat Tradisi, Meneguhkan Identitas

“Biaya pengurusan perubahan status melalui notaris bisa mencapai sekitar Rp20 juta per 1.000 meter persegi, belum termasuk biaya pemecahan, AJB, pajak penghasilan atas peralihan hak, dan BPHTB. Selain biayanya besar, prosedurnya juga sangat rumit,” keluhnya.

Secara terpisah, staf Dinas Perumahan dan Permukiman (PERKIM) Pemkab Lamongan, Mada, menjelaskan bahwa pengeringan lahan pertanian harus mengikuti ketentuan dari Kementerian PUPR.

“Pemda hanya mengeluarkan izin Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR) sesuai ketentuan pusat,” terang Mada saat ditemui www.suaranasional.com di ruang kerjanya, Jumat (24/10/2025).

Menurut Mada, untuk pengurusan KKPR dengan tujuan perumahan komersial dan subsidi, biaya alih fungsi lahan pertanian ke tanah kering bisa mencapai sekitar Rp20 juta per 1.000 meter persegi.

“Namun, untuk keperluan pribadi biayanya berbeda, tergantung kebutuhan dan kelengkapan administrasi,” tambahnya. Pewarta: Hadi Hoy

Simak berita dan artikel lainnya di Google News