Drama Manipulasi Purbaya: Persekongkolan Jokowi & Luhut

Oleh: Firman Tendry Masengi, Founder
RECHT INSTITUTE, Research and Education Center for Humanitarian Transparency Law

“Sejak awal proyek ini sudah busuk,” demikian pengakuan blak-blakan Luhut Binsar Pandjaitan yang akhirnya menjadi testimoni moral paling jujur atas skandal finansial yang menganga di tubuh pemerintahan Jokowi.

Namun anehnya, pernyataan itu bukan menjadi titik tolak koreksi, melainkan pembuka babak baru drama pertikaian semu antara elite: Purbaya Yudhi Sadewa—Ketua Lembaga Pengelola Investasi (INA) sekaligus Menteri Keuangan de facto dalam pengelolaan portofolio BUMN—yang menolak pembayaran utang PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) lewat APBN, seolah tampil sebagai “penyelamat uang rakyat.” Padahal, kebenaran substantif membuktikan, hutang itu tetap bersumber dari APBN melalui lembaga perantara bernama PT Danantara.

Di panggung publik, mereka tampak berselisih: Luhut dan Purbaya saling menegasikan tanggung jawab fiskal dan etika pembangunan. Namun di balik layar, mereka justru bersekutu dalam skema finansial yang sama—menggunakan Danantara sebagai alat cuci hutang negara dengan aroma legal-formal yang direkayasa melalui Permenkeu Nomor 89 Tahun 2023 dan justifikasi normatif dari UU Nomor 1 Tahun 2025 tentang BUMN.

1. Anatomi Hukum Kebohongan Fiskal

Permenkeu 89/2023 mengatur mekanisme penyertaan modal negara (PMN) dan pengelolaan aset BUMN melalui skema special purpose vehicle (SPV), dalam hal ini Danantara, yang diklaim tidak bersumber langsung dari APBN.

Namun konstruksi ini cacat secara konstitusional dan administratif, sebab sumber awal pendanaan Danantara justru berasal dari Penyertaan Modal Negara (PMN) yang diambil dari Belanja Negara (APBN)—berdasarkan Pasal 3 dan Pasal 4 UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, serta Pasal 2 UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
Dengan demikian, Danantara bukan entitas otonom murni, melainkan instrumen derivatif dari keuangan negara. Ketika Danantara membayar utang KCIC, maka secara hukum, pembayaran itu tetap merupakan perbuatan keuangan negara, bukan transaksi korporasi biasa.

Baca juga:  Sebagai Petugas Partai, Jokowi akan Ikuti Perintah PDIP Mereshuffle Menteri NasDem

Pernyataan Purbaya bahwa “negara tidak membayar utang KCIC” merupakan bentuk distorsi terminologis yang menyesatkan publik dan menyalahi prinsip transparansi fiskal sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (3) UU Keuangan Negara. Dalam konteks ini, kebohongan tidak terletak pada data, melainkan pada konstruksi logika yang sengaja dimanipulasi untuk menutupi pelanggaran moral dan administratif dalam kebijakan fiskal negara.

2. Permainan Ilusi: Dari APBN ke Danantara

Danantara, sebagaimana dijabarkan dalam struktur permodalannya, merupakan anak usaha Indonesia Investment Authority (INA) yang notabene dibentuk melalui Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2020 sebagai pelaksana UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Artinya, Danantara bukan entitas swasta murni, tetapi instrumen negara yang dikelola dengan pendekatan investasi. Ketika Danantara memperoleh dana dari INA—yang sumber awalnya berasal dari APBN, maka seluruh pembiayaan yang dilakukan Danantara memiliki jejak fiskal publik.

Dengan demikian, memindahkan beban utang KCIC ke Danantara bukanlah penyelamatan fiskal, melainkan rekayasa semantik hukum: memindahkan angka dari pos APBN ke neraca korporasi negara untuk menipu akuntabilitas publik.

Ini merupakan pelanggaran prinsip akuntabilitas keuangan negara (Pasal 30 ayat 1 UU Keuangan Negara) dan mengandung potensi perbuatan melawan hukum oleh penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan 3 UU Tipikor—karena terdapat indikasi penyalahgunaan kewenangan dan penyamaran sumber keuangan negara.

3. Kontradiksi dengan UU No. 1 Tahun 2025 tentang BUMN

UU Nomor 1 Tahun 2025 tentang BUMN (jika mengacu pada revisi atau substitusi UU 19/2003) menegaskan fungsi BUMN sebagai agent of development yang wajib tunduk pada prinsip Good Corporate Governance (GCG) dan akuntabilitas publik.

Namun skema KCIC–Danantara justru melanggar prinsip ini karena:

1. Tidak melalui mekanisme persetujuan DPR sebagaimana diamanatkan Pasal 23 UUD 1945 terhadap penggunaan APBN.

Baca juga:  PPJNA 98: Jokowi dan Prabowo Bagaikan Dua Sisi Mata Uang tak Bisa Dipisahkan

2. Mengaburkan garis demarkasi antara keuangan negara dan keuangan korporasi negara, yang sejatinya tidak dapat dipisahkan ketika BUMN dibiayai oleh PMN.

3. Mengabaikan prinsip open government dan partisipasi publik, sebagaimana menjadi roh dari Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2018 tentang SPBE (Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik).

Dengan demikian, praktik fiskal yang dijalankan melalui Danantara bertentangan dengan asas-asas penyelenggaraan negara yang bersih dan transparan, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 3 UU 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN.

4. Konflik Semu, Kesatuan Kepentingan

Konflik di media antara Purbaya, Luhut, dan Jokowi bukanlah pertentangan ideologis, melainkan drama politik-fiskal untuk menciptakan ilusi ketegasan dan tanggung jawab publik. Pada kenyataannya, ketiganya terhubung dalam satu kepentingan: mempertahankan proyek KCIC yang secara hukum dan ekonomi sudah kolaps.
Dalam konteks hukum tata negara, ini menunjukkan adanya disfungsionalitas checks and balances antara eksekutif dan legislatif, karena tidak ada mekanisme korektif terhadap kebijakan yang telah melanggar asas keuangan negara.

5. Kebohongan Fiskal yang Disamarkan

Kebohongan Purbaya bukan terletak pada niat, melainkan pada struktur kebijakan yang menipu akal publik. Ia menolak membayar hutang KCIC lewat APBN, tetapi membayarnya lewat Danantara—yang dibiayai APBN juga.
Secara hukum, ini adalah perbuatan melawan asas kejujuran publik dan prinsip transparansi keuangan negara, serta berpotensi dikualifikasikan sebagai penyalahgunaan kewenangan fiskal.

Maka, sebagaimana dikatakan Luhut bahwa proyek ini “busuk sejak awal”, busuknya bukan hanya pada proyek fisiknya, tetapi pada etika konstitusional dan moral hukum negara—di mana kebohongan dijadikan instrumen kebijakan, dan rakyat menjadi korban ilusi fiskal.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News