Beredar Kabar PWI-LS Minta Warga Pribumi tak Ikuti Kiai Budak Yaman dan Pesantrennya

Dunia maya tengah dihebohkan dengan beredarnya seruan kontroversial dari organisasi masyarakat bernama Perjuangan Walisongo Indonesia Laskar Sabilillah (PWI-LS). Dalam pesan yang beredar luas di berbagai platform media sosial, ormas ini menyerukan agar warga pribumi tidak lagi mengikuti kiai yang disebut masih menjadi “budak Yaman”.

Istilah “budak Yaman” dalam seruan tersebut ditujukan kepada para kiai yang masih berafiliasi, menghormati, atau menjadi muhibbin (pecinta) para Habaib. Lebih jauh, PWI-LS juga meminta warga pribumi tidak memondokkan anak-anak mereka di pesantren yang diasuh oleh kiai semacam itu.

Dalam unggahan yang kini viral, PWI-LS menyebut bahwa saatnya warga pribumi bangkit mengikuti kiai asli nusantara yang disebut “penerus Walisongo”, bukan kiai yang masih menjadi muhibbin.

Seruan tersebut secara eksplisit menyebut sejumlah tokoh yang dianggap mewakili kiai asli nusantara, antara lain: KH. Imaduddin Usman al-Bantani, KH. Muhammad Abbas Billy Yachsy (Gus Abbas) dan KH. Marzuki Mustamar.

Ketiganya dinilai PWI-LS sebagai figur yang “membela ajaran Walisongo dan menjaga marwah pribumi dalam Islam Nusantara”.

Baca juga:  Pengamat Geopolitik dan Intelijen: Ada Operasi Adu Domba di Balik Gerakan PWI-LS yang Anti-Ba'alawi

Sementara itu, kelompok yang disebut “budak Yaman” merujuk pada kiai atau pesantren yang masih menjadikan keturunan Habaib sebagai figur spiritual utama, baik dalam bentuk tabarruk (mengambil berkah), tawasul, maupun tradisi keagamaan yang mengagungkan keturunan Rasulullah dari jalur Hadramaut.

Seruan ini menuai kecaman keras dari sejumlah tokoh pesantren dan organisasi Islam arus utama. Banyak yang menilai pernyataan PWI-LS berpotensi memecah belah umat Islam dan menabur kebencian berbasis asal-usul keturunan.

Seorang pengasuh pesantren di Jawa Tengah yang enggan disebut namanya menyebut seruan itu sebagai bentuk fitnah berbahaya terhadap ulama dan tradisi keislaman yang telah berakar ratusan tahun di Indonesia.

“Kalau umat dibelah antara ‘pribumi’ dan ‘keturunan Arab’, itu bukan ajaran Walisongo. Justru Walisongo dulu yang menyatukan bangsa ini lewat dakwah damai. Seruan seperti ini sangat mencederai warisan mereka,” ujarnya.

Senada dengan itu, pengamat politik Islam Rokhmat Widodo, menilai bahwa isu “budak Yaman” yang diangkat PWI-LS menunjukkan krisis pemahaman terhadap sejarah Islam di Indonesia.

Baca juga:  Pengurus PWI-LSI: Nasib Habaib Bisa Dibunuh seperti Orang PKI Tahun 1965

“Hubungan ulama nusantara dengan ulama Hadramaut itu bukan hubungan budak dan tuan, tapi hubungan spiritual yang saling menghormati. Banyak ulama besar seperti Syekh Nawawi al-Bantani dan KH Hasyim Asy’ari juga terhubung ke jaringan keilmuan Yaman. Tidak bisa direduksi menjadi sentimen rasial,” jelasnya.

Beberapa analis menduga bahwa seruan ini tidak murni soal keagamaan, melainkan bagian dari upaya politisasi identitas menjelang momentum politik tertentu di daerah-daerah dengan basis pesantren kuat.

Rokhmat menilai, narasi “pribumi vs keturunan Arab” sengaja dimunculkan untuk membangun basis ideologis baru yang menentang hegemoni kultur habaib di sebagian pesantren dan majelis taklim.

“Ini bisa jadi bentuk perlawanan ideologis. Ada upaya merebut pengaruh sosial dari kelompok habaib yang selama ini kuat dalam simbol-simbol keagamaan. Tapi dampaknya sangat destruktif bagi ukhuwah Islamiyah,” jelas Farhan.

Namun demikian, belum ada klarifikasi resmi dari pengurus pusat PWI-LS mengenai viralnya seruan terbaru yang menyinggung istilah “budak Yaman”.

 

Simak berita dan artikel lainnya di Google News