Tempatkan Purbaya, Pengamat: Cara Prabowo ‘Gebuk’ Jokowi dan Geng Solo

Langkah Presiden Prabowo Subianto menempatkan Purbaya Yudhi Sadewa sebagai Menteri Keuangan mulai terbaca sebagai strategi politik berlapis. Tak hanya mengurusi fiskal dan anggaran negara, Purbaya kini dianggap sebagai “alat gebuk halus” terhadap warisan politik dan ekonomi era Joko Widodo (Jokowi).

Pengamat intelijen dan geopolitik Amir Hamzah menilai, posisi Purbaya di kabinet bukan semata hasil kompromi politik, melainkan langkah terukur Prabowo untuk mendisiplinkan warisan kebijakan lama yang dinilai membebani keuangan negara, khususnya proyek-proyek mercusuar yang menjadi simbol pemerintahan Jokowi.

Pernyataan tegas Purbaya soal tidak boleh digunakannya APBN untuk membayar utang proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) menjadi sinyal awal bahwa Prabowo mulai mengambil jarak dari kebijakan ekonomi Jokowi yang sarat intervensi politik.

“Purbaya sedang menjalankan misi Presiden Prabowo untuk menertibkan dan mengembalikan fungsi APBN sebagai alat pembangunan yang berpihak pada rakyat, bukan untuk menutup kesalahan masa lalu,” ujar Amir Hamzah kepada Wartawan, Ahad (12/10/2025).

Menurut Amir, pernyataan Purbaya tersebut bukan sekadar pernyataan teknokratis, melainkan pukulan politik telak kepada dua figur kuat era Jokowi: Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) dan Jokowi sendiri. Keduanya diketahui menjadi motor utama proyek kereta cepat yang hingga kini masih menimbulkan beban utang triliunan rupiah.

“Ini cara Prabowo menggebuk Jokowi dan Geng Solo dengan halus tapi efektif. Tidak frontal di panggung politik, tetapi melalui kebijakan ekonomi dan disiplin fiskal,” lanjut Amir.

Baca juga:  Politik Kancil Dasco Menjinakkan 'Buaya'

Tak berhenti di situ, Purbaya kembali menjadi sorotan ketika mempresentasikan data bahwa tingkat kesejahteraan rakyat di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) lebih tinggi dibandingkan era Jokowi.

Amir menyebut, langkah itu sangat berani dan strategis. “Purbaya berbicara dengan basis data, bukan opini. Ia sedang menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi di era Jokowi tidak sekuat narasi politik yang dibangun saat itu,” ujarnya.

Menurutnya, data tersebut sekaligus menjadi pembuka bagi Prabowo untuk menegaskan arah ekonomi baru yang lebih berbasis produksi dan kesejahteraan rakyat, bukan infrastruktur besar yang minim dampak langsung.

“Prabowo ingin mematahkan mitos ‘Jokowi effect’ dalam ekonomi nasional. Purbaya menjadi ujung tombak dalam membangun narasi baru bahwa growth tanpa pemerataan adalah ilusi,” jelas Amir.

Gebrakan Purbaya tidak hanya berhenti pada kebijakan makro. Di internal Kementerian Keuangan, ia mengambil langkah keras terhadap aparat Bea Cukai yang terlibat praktik kecurangan dan penyimpangan.

Menurut Amir, langkah itu adalah bagian dari “operasi bersih” yang menunjukkan bahwa pemerintahan Prabowo tak segan menindak pejabat bermasalah, bahkan jika mereka adalah “orang lama” yang punya jaringan kuat di era sebelumnya.

“Bea Cukai itu selama ini dianggap sarang mafia impor dan rente. Kalau Purbaya berani menyapu di situ, artinya sinyal sangat jelas: tidak ada kekuatan lama yang kebal di era Prabowo,” ujarnya.

Amir Hamzah menilai, gaya Prabowo menghadapi warisan Jokowi sangat khas — mengontrol tanpa menghancurkan, menekan tanpa menyingkirkan secara langsung.

Baca juga:  Pengamat Intelijen dan Geopolitik: Pertemuan Purnawirawan TNI Dijawab Kunjungan Sespimmen Polri ke Jokowi

“Prabowo memahami bahwa konfrontasi langsung dengan Geng Solo bisa memecah elite nasional. Karena itu, dia pakai cara intelijen: menggunakan figur teknokrat yang kredibel untuk menyalurkan pesan politik keras,” papar Amir.

Dalam kerangka itu, Purbaya adalah pilihan ideal. Sebagai ekonom senior yang pernah berkarier di Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan dikenal antikorupsi, ia memiliki legitimasi profesional sekaligus keberanian politik untuk menantang status quo.

Menurut Amir, langkah ini juga punya dimensi jangka panjang: Prabowo sedang menata ulang peta kekuatan menuju 2029. Ia ingin memastikan bahwa pengaruh Jokowi dan kelompok Solo tidak lagi mendominasi sistem politik dan ekonomi nasional.

“Kalau dulu Jokowi punya Luhut dan Sri Mulyani sebagai penjaga kebijakan ekonomi, sekarang Prabowo punya Purbaya. Bedanya, Purbaya bukan hanya penjaga fiskal, tapi juga ‘penembus’ ke jantung jaringan lama,” jelasnya.

Amir menegaskan, perlawanan terhadap Prabowo ke depan akan datang dari dua arah: jaringan lama yang kehilangan akses ekonomi, dan kelompok politik yang merasa terancam kehilangan pengaruh di birokrasi.

Namun, sejauh ini Prabowo tampak percaya diri dengan komposisi kabinetnya. “Ini bukan sekadar pembagian kursi. Ini strategic deployment. Dan Purbaya adalah ‘agen perubahan’ yang sedang menjalankan operasi senyap di tubuh ekonomi nasional,” pungkas Amir.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News