Politikus Demokrat Dukung Menkeu Purbaya Tolak Bayar Utang Kereta Cepat Pakai APBN

Keputusan tegas Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa untuk menolak penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam menanggung utang proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) Whoosh, memunculkan gelombang reaksi publik dan politik. Dari kalangan oposisi, dukungan justru datang dengan nada sindiran tajam, salah satunya dari Politikus Partai Demokrat Ricky Kurniawan.

“Ini baru keren… 👍 Ditanggung penikmat rente korupsinya aja utangnya!” ujar Ricky dalam pernyataan yang beredar luas, Sabtu (11/10/2025). Pernyataan singkat itu menjadi simbol apresiasi terhadap langkah Purbaya yang dianggap berani menjaga disiplin fiskal negara di tengah beban utang proyek infrastruktur yang membengkak.

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dalam keterangan resmi di Jakarta menegaskan, pemerintah tidak akan menanggung utang proyek KCJB melalui APBN. Menurutnya, proyek tersebut merupakan hasil kerja sama konsorsium badan usaha, dan tanggung jawab atas pembiayaannya tidak bisa dialihkan kepada negara.

“Proyek kereta cepat ini dijalankan oleh konsorsium, jadi tidak adil jika seluruh beban keuangannya dialihkan ke APBN. Negara tidak bisa terus-menerus menjadi penanggung risiko dari keputusan bisnis yang seharusnya dikelola secara profesional,” ujar Purbaya dalam konferensi pers.

Ia juga menegaskan bahwa pemerintah tengah mendorong BPI Danantara (Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara) sebagai lembaga pengelola restrukturisasi agar mampu mencari solusi keuangan jangka panjang tanpa melibatkan APBN secara langsung.

“Danantara bisa menjadi solusi korporat. Prinsipnya, APBN tidak boleh menjadi tempat menampung semua kesalahan perencanaan atau kelebihan biaya,” tegas Purbaya.

Politikus Demokrat Ricky Kurniawan menyebut langkah Menkeu sebagai contoh nyata keberanian menjaga integritas fiskal negara. Ia menilai sudah saatnya pemerintah berhenti menutupi kesalahan proyek yang sarat dengan kepentingan bisnis dan politik di masa lalu.

Baca juga:  KIM Teruji Solid di Pilpres 2024, Politikus Demokrat: Jakarta akan Dipimpinn Gubernur Baru

“Ini langkah rasional dan berani. Selama ini rakyat selalu jadi korban. Kalau proyeknya untung, yang menikmati segelintir elit bisnis dan politisi. Tapi begitu rugi, rakyat disuruh bayar lewat APBN. Nah sekarang, biar adil, yang menanggung adalah para penikmat rente itu sendiri,” ujarnya.

Menurut Ricky, sikap seperti Purbaya justru memperlihatkan bahwa kementerian keuangan masih memegang prinsip akuntabilitas publik.

“Menkeu ini sedang melindungi uang rakyat. Jangan sampai APBN jadi dompet darurat buat nutupin kesalahan mereka yang dulu main proyek besar tanpa perhitungan matang,” tambahnya.

Proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung yang diluncurkan dengan ambisi besar pada era sebelumnya kini menghadapi realitas berat. Pembengkakan biaya dari estimasi awal yang disebut sekitar Rp86 triliun menjadi lebih dari Rp114 triliun, memaksa konsorsium untuk menanggung utang besar ke kreditur luar negeri, terutama dari Tiongkok.

Dengan keputusan Menkeu menolak penggunaan APBN, maka beban utang harus diselesaikan oleh konsorsium, yakni PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), yang di dalamnya terdapat porsi saham dari beberapa BUMN dan perusahaan Tiongkok.

Sejumlah pengamat menilai, keputusan Purbaya berisiko memicu ketegangan antara pihak kreditur dan pemerintah, namun juga memberikan sinyal positif kepada publik bahwa negara tidak akan menanggung kesalahan korporasi.

“Kalau ini dikompromikan, kita akan ulang kesalahan masa lalu di mana utang swasta dan BUMN akhirnya diambil alih pemerintah. Itu tidak sehat,” kata analis kebijakan publik Arif Santoso.

Baca juga:  Dukung Cabut Kartu Pers Istana, Politikus Demokrat: Jurnalis CNN Indonesia tak Punya Etika

Keputusan Purbaya bukan tanpa konsekuensi. Menurut laporan keuangan KCIC, pembayaran bunga dan pokok pinjaman kepada kreditur jatuh tempo dalam waktu dekat. Jika tidak ada kesepakatan restrukturisasi, risiko gagal bayar bisa mengganggu stabilitas korporasi BUMN yang terlibat.

Namun, bagi Purbaya, menjaga kredibilitas fiskal jauh lebih penting. “Kalau setiap proyek bermasalah selalu diselamatkan dengan APBN, negara tidak akan pernah belajar efisiensi,” ujarnya dalam forum keuangan publik minggu lalu.

Sikap ini mendapat apresiasi dari kalangan ekonom yang menilai langkah Menkeu konsisten dengan arah reformasi fiskal: membatasi peran negara sebagai penjamin terakhir dari proyek bermasalah.

Pernyataan Ricky Kurniawan yang menyebut “penikmat rente korupsinya aja yang tanggung utang” menyinggung realitas bahwa banyak proyek strategis nasional di masa lalu dipenuhi dengan aroma rente, kolusi, dan keuntungan yang tidak sebanding dengan manfaat publiknya.

Keputusan Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa menolak penggunaan APBN untuk membayar utang proyek Whoosh menjadi momentum penting bagi reformasi kebijakan fiskal Indonesia. Di tengah tekanan politik dan ekonomi, langkah ini memperlihatkan sikap tegas pemerintah menjaga integritas keuangan negara.

Dukungan dari politisi lintas partai seperti Ricky Kurniawan menunjukkan bahwa isu ini telah menembus batas politik—menjadi simbol perlawanan terhadap praktik rente dan korupsi yang membebani rakyat.

Jika kebijakan ini konsisten dijalankan, maka untuk pertama kalinya Indonesia punya preseden kuat bahwa proyek bermasalah tak lagi bisa berlindung di balik APBN. Negara berdiri di sisi rakyat, bukan di sisi para penikmat rente.

 

Simak berita dan artikel lainnya di Google News