MBG Jadi Bancakan Politisi

Oleh: M. Yunus Hanis Syam, Pemerhati Politik dan Sosial

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) sejatinya lahir dari niat mulia: memastikan anak-anak bangsa tidak belajar dalam keadaan lapar. Sebuah program yang—di atas kertas—memadukan idealisme sosial dan tanggung jawab negara terhadap generasi masa depan. Namun, seperti banyak program “mulia” lainnya di negeri ini, MBG pelan tapi pasti berubah arah. Dari program gizi menjadi program gizi politik. Dari dapur umum rakyat, kini aromanya bergeser ke dapur partai.

Ya, MBG kini jadi bancakan politisi.

Di banyak daerah, muncul fenomena menarik—atau tepatnya, menggelikan. Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG), unit pelaksana di lapangan yang mestinya berfokus pada pelayanan anak-anak, justru “dikuasai” oleh orang-orang yang punya irisan politik tebal. Ada anggota dewan yang punya SPPG, ada kader partai yang mendirikan koperasi khusus pengadaan bahan makanan, dan ada juga tim sukses yang mendadak jadi konsultan gizi.

Yang lebih ajaib, beberapa SPPG bahkan beralamat sama dengan kantor partai politik setempat. Di papan nama, tertulis: “SPPG Maju Bersama”, tapi di bawahnya masih menempel sisa spanduk lama bertuliskan “Posko Pemenangan”. Entah siapa yang sedang bergizi, anak-anak sekolah atau dompet para politisi.

Politik kita memang selalu punya selera unik. Di masa lalu, suara rakyat dibeli dengan sembako. Kini, mungkin lebih efisien: suara rakyat digizi dengan MBG. Dalam berbagai kegiatan sosialisasi, aroma politik ikut menyeruak dari setiap MBG yang dibagikan.

Baca juga:  Ketua LP KPK Lamongan: Program Makan Bergizi Gratis Harus Sesuai Standar BGN, Jangan Jadi Ajang Bisnis

Ironisnya, dalam laporan resmi program, semua tercatat rapi: “Menu bergizi lengkap dan seimbang.” Lengkap memang—ada karbohidrat, protein, lemak, dan kepentingan politik.

Secara ideal, SPPG dibentuk agar proses pengadaan, distribusi, dan kontrol kualitas makanan bergizi bisa dilakukan secara transparan dan akuntabel. Tapi di lapangan, SPPG kerap berubah jadi SPP Ganda—karena satu proyek bisa mencairkan dua keuntungan: satu untuk laporan resmi, satu lagi untuk uang operasional taktis.

Penyedia jasa pengolahan makanan juga bukan lagi urusan ahli gizi, melainkan urusan lobi. Tender-tender MBG diserahkan ke jaringan partai, kerabat pejabat daerah, bahkan keluarga besar orang penting.

Ada pula modus lain: pengadaan bahan pangan dengan harga yang “bergizi tinggi”. Telur yang di pasaran Rp28.000/kg bisa “naik gizi” jadi Rp45.000/kg dalam dokumen. Ayam potong yang seharusnya seger dari kandang, mendadak jadi segar dari rekening.

Yang paling menyedihkan, anak-anak—yang mestinya jadi penerima manfaat utama—malah jadi tameng moral para politisi. Setiap kali kritik muncul, jawabannya standar: “Ini demi generasi bangsa.”

Padahal generasi bangsa sedang makan tahu tanpa gizi, sementara para “pelayan publik” menikmati tender tanpa batas.

Ada politisi yang dengan bangga memamerkan dapur umum di media sosial sambil menulis: “Kami hadir untuk anak-anak Indonesia.” Tapi kalau ditelusuri lebih jauh, “kami” itu bukan rakyat, melainkan jaringan bisnis keluarga. Anak-anak hanya jadi latar belakang untuk konten heroik, sedangkan porsi utama sudah habis di meja negosiasi proyek.

Baca juga:  Makan Bergizi Gratis atau Makan Beracun Gratis?

Program MBG seharusnya jadi bentuk konkret negara hadir di meja makan rakyat kecil. Namun, ketika niat baik dikunyah bersama ambisi, negara justru terlihat kalah oleh nafsu politisi. MBG yang mestinya menyembuhkan gizi buruk, kini justru memperparah penyakit lama: korupsi berjamaah dengan bumbu “pembenaran sosial”.

Kita seolah-olah hidup di negeri di mana setiap program sosial harus lebih dulu diuji bukan oleh ahli gizi, tapi oleh tim sukses. Siapa yang dapat jatah dapur, siapa yang kendalikan logistik, siapa yang boleh selfie di lokasi distribusi—semuanya diatur rapi, jauh sebelum nasi dimasak.

Masih ada harapan, tentu saja. Tapi harapan itu baru bisa hidup kalau pemerintah berani menata ulang mekanisme MBG dari hulu sampai hilir. SPPG harus kembali ke rel pelayanan, bukan jadi rel proyek. Pengawasan publik harus diperkuat, bukan dipoles dengan pencitraan. Dan yang paling penting: berhentilah menjadikan anak-anak sebagai umpan moral untuk proyek politik.

Karena di ujungnya, bangsa ini tidak hanya butuh makan bergizi gratis—tapi juga politik yang bergizi sehat.
Politik yang tidak membuat rakyat mual karena aroma bancakan, tapi menumbuhkan selera untuk ikut berpartisipasi dengan jujur.

Sebab, kalau MBG terus dibiarkan jadi Makan Bersama Golongan, yang kenyang bukan rakyat, tapi politisi yang sudah terlalu lama makan tanpa rasa malu.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News