Oleh: Firman Tendry Masengi, SH, Advokat / Aktivis 98
Ada yang sunyi di tengah gegap gempita peringatan Soempah Pemoeda. Ada yang kosong di antara suara lantang menyanyikan Indonesia Raya. Mungkin bukan lagunya yang kehilangan makna, melainkan kita — yang tak lagi mendengarkan gema nuraninya. Kita berdiri tegak dalam upacara, tetapi jiwa kita duduk diam dalam keletihan sejarah. Kita bangga menyebut diri “anak bangsa”, namun semakin tak tahu makna dari kata “bangsa” itu sendiri.
Hampir seabad lalu, sekelompok pemuda memutuskan untuk menolak takdir kolonial dengan satu keputusan sadar: menjadi Indonesia. Mereka tidak hanya mengikrarkan sumpah, tetapi menyalakan api kesadaran yang membuat manusia-manusia muda dari berbagai penjuru Nusantara merasa sebangsa — bukan karena darah, tetapi karena cita-cita. Namun kini, sumpah itu tinggal teks di dinding sekolah, dibacakan setiap tahun dengan lidah yang tak lagi dihidupi hati.
Sumpah yang Tak Lagi Menyala
Pada 1928, ketika mereka menyebut “Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa,” mereka sedang menolak kemustahilan. Di bawah tekanan kolonialisme, perpecahan, dan kemiskinan, mereka masih berani bermimpi. Itulah daya yang disebut roh kebangsaan — sebuah keberanian berpikir melampaui batas diri.
Kini, di tahun-tahun modern yang katanya merdeka, kita justru takut bermimpi. Bangsa ini seolah kehilangan imajinasi bersama. Nasionalisme direduksi menjadi seragam sekolah dan jargon kampanye. Pemuda yang dulu menulis manifesto kini menulis konten viral. Semangat yang dulu mengguncang kolonialisme kini terjebak dalam scroll media sosial tanpa arah.
Sumpah Pemuda seharusnya bukan hanya dihafal, tapi dihayati. Bukan sekadar naskah, tapi napas yang menghidupkan kesadaran kolektif. Sebab sumpah itu bukan peristiwa masa lalu — melainkan janji yang menunggu ditepati setiap hari.
Antara Cita dan Kuasa
Filsafat kebangsaan Indonesia lahir dari luka — bukan dari laboratorium kekuasaan. Ia tumbuh dari penderitaan rakyat, dari rasa hina dijajah, dan dari tekad untuk menjadi manusia yang bermartabat. Soekarno menulis bahwa nasionalisme Indonesia haruslah memberi hidup kepada kemanusiaan, bukan menindasnya.
Namun, di zaman ini, cita itu dikubur pelan-pelan oleh pragmatisme politik. Kekuasaan menggantikan kebangsaan sebagai pusat gravitasi republik. Nasionalisme menjadi alat propaganda; tanah air berubah jadi komoditas. Kita diajak mencintai negeri, tetapi diam terhadap ketidakadilan yang merusaknya.
Apakah nasionalisme masih bermakna jika rakyat lapar, tanah dijarah, dan hukum tunduk pada kekuasaan? Apakah Indonesia Raya masih bisa disebut lagu kebangsaan jika bangsa yang dimaksud tak lagi berjiwa merdeka?
Di titik ini, filsafat kebangsaan menuntut kita kembali berpikir — bahwa berbangsa bukan soal kepemilikan, tetapi soal keberanian untuk memperjuangkan makna.
Soempah Pemoeda: Dari Ritual Menjadi Kesadaran
Sumpah itu dulu diucapkan tanpa mikrofon canggih, tanpa televisi, tanpa sponsor. Ia sederhana, tapi membakar jiwa. Kini, peringatan Sumpah Pemuda datang dengan spanduk megah, slogan gemerlap, dan pidato pejabat yang lebih sibuk berjanji daripada mengilhami.
Padahal, inti dari Soempah Pemoeda adalah keberanian untuk berpikir sebagai kita, bukan sebagai aku. Ia adalah deklarasi untuk menghapus sekat-sekat palsu: agama, suku, status, bahkan kepentingan pribadi.
Meneguhkan kembali sumpah itu berarti meneguhkan kesadaran etis: bahwa bangsa ini tidak akan berdiri oleh keserakahan segelintir orang, melainkan oleh solidaritas mereka yang tak berdaya. Pemuda hari ini harus kembali menjadikan nasionalisme sebagai tindakan berpikir dan bertindak, bukan sekadar gaya bicara.
Indonesia Raya: Lagu yang Tersisa di Bibir, Bukan di Jiwa
Ada ironi dalam setiap upacara bendera: kita menyanyikan Indonesia Raya sambil menunduk di bawah bayangan gedung-gedung pencakar langit yang dibangun dari utang dan ketimpangan. “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya” kini terdengar seperti sindiran. Jiwa bangsa ini sedang kering, sementara badannya terus dibangun untuk pasar dan modal.
Lagu kebangsaan seharusnya menjadi gema kesadaran, bukan pelengkap upacara. Ia adalah panggilan untuk membangkitkan jiwa yang tertidur — jiwa yang dulu melahirkan revolusi, kini tenggelam dalam euforia konsumsi.
Kita harus bertanya: apakah yang berdiri di depan tiang bendera itu masih bangsa yang bersumpah untuk merdeka, atau sekadar rakyat yang sudah lupa mengapa mereka pernah memperjuangkan kemerdekaan?
Meneguhkan Kembali: Bangsa yang Masih Bisa Bermimpi
Meneguhkan kembali Soempah Pemoeda berarti meneguhkan kembali impian Indonesia. Bukan impian tentang pembangunan, tapi tentang kemanusiaan. Bukan tentang kekuasaan, tapi tentang kesadaran.
Kita harus kembali memaknai sumpah itu sebagai kontrak moral, bukan seremonial. Sebagai tekad untuk tidak menyerahkan masa depan bangsa pada penguasa yang memperjualbelikan idealisme. Sebagai janji untuk terus memanusiakan manusia — dari petani yang kehilangan tanahnya hingga anak muda yang kehilangan arah hidupnya.
Bangsa ini pernah lahir dari mimpi bersama; jangan biarkan ia mati oleh ego yang sendirian.
Menghidupkan Kembali Jiwa yang Tertidur
Seratus tahun setelah Soempah Pemoeda, kita tak butuh upacara lebih megah — kita butuh kesadaran lebih dalam. Kita tak butuh lagu yang lebih keras — kita butuh jiwa yang lebih jujur.
Indonesia Raya akan kembali bermakna bila setiap baitnya lahir dari keberanian untuk melawan ketakutan, kemunafikan, dan kemiskinan pikiran. Jika pada 1928 para pemuda berani bersumpah untuk menjadi satu, maka di abad ini tugas kita lebih berat: bersumpah untuk tetap waras di tengah kegilaan kekuasaan.
Di Antara Lagu dan Sumpah
Indonesia Raya dan Soempah Pemoeda lahir dari rahim yang sama: kerinduan akan kemerdekaan yang sejati. Yang satu diucapkan, yang satu dinyanyikan — keduanya bukan sekadar bunyi, melainkan nyala yang menuntut kejujuran.
Sumpah adalah kata yang mengikat hati, lagu adalah nada yang menggerakkan jiwa. Bila sumpah telah menjadi teks dan lagu tinggal tradisi, maka bangsa ini kehilangan denyutnya. Sebab di antara keduanya tersembunyi makna terdalam menjadi manusia merdeka: keberanian untuk percaya, meski dikepung ketakutan.
Soempah Pemoeda adalah janji, dan Indonesia Raya adalah doa. Janji tanpa doa hanyalah ambisi; doa tanpa janji hanyalah gema kosong. Keduanya bersatu dalam satu cita: membangunkan jiwa bangsa agar tak mati sebelum waktunya.
Dan mungkin, ketika suatu hari kita kembali menyanyikan Indonesia Raya dengan dada yang bergetar — bukan karena protokol, tapi karena cinta yang mengakar — di situlah Soempah Pemoeda benar-benar ditepati.
Sebab bangsa ini hanya akan hidup selama lagu dan sumpah itu masih sanggup membuat kita menangis, bukan karena nostalgia, tapi karena kesadaran:
Bahwa Indonesia bukan warisan, melainkan titipan yang harus kita jaga dengan jiwa.