Oleh: Rokhmat Widodo, pengamat politik
Negara ini kadang lucu. Ia bisa membangun jalan tol seribu kilometer, tapi gagal memastikan sepiring nasi tidak basi. Ia bisa menggelontorkan triliunan rupiah untuk Makan Bergizi Gratis, tapi lupa bahwa gizi tanpa higienitas hanya akan menjadi racun yang dibungkus plastik. Maka jadilah kita menyaksikan pemandangan ironis: anak-anak yang seharusnya tertawa setelah makan, malah muntah berjamaah di halaman sekolah.
MBG dijual sebagai janji besar—piring penuh nasi, lauk bergizi, sayur sehat—untuk membasmi stunting. Para pejabat tersenyum lebar di depan kamera, seakan mereka sudah menyelamatkan masa depan bangsa. Tetapi di balik kamera, dapur-dapur penyedia makanan ternyata masih seperti warung darurat: seadanya, tanpa standar, penuh risiko. Akibatnya, dari Sragen sampai Banggai, dari Cianjur sampai Lamongan, berita keracunan massal jadi menu harian. Lebih dari lima ribu anak menjadi korban. Bayangkan, bangsa ini gagal hanya karena tidak mampu membedakan antara makanan sehat dan makanan basi.
Lalu para pejabat berkilah, menyalahkan cuaca, menyalahkan vendor, bahkan menyalahkan perut anak-anak yang dianggap “tidak terbiasa makan bergizi.” Sungguh satir, ketika negara yang konon modern malah lebih miskin logika daripada warung pecel lele di pinggir jalan, yang entah bagaimana bisa bertahun-tahun berjualan tanpa pernah membuat pelanggan keracunan massal.
Padahal solusi itu sederhana. Dapur harus higienis, bahan pangan harus segar, distribusi harus pendek. Tapi di negeri ini, solusi sederhana sering dikalahkan oleh selera anggaran. Vendor dipilih bukan karena kualitas, melainkan karena kedekatan politik. Anggaran habis untuk mark-up, sementara anak-anak hanya dapat nasi setengah basi dan ayam yang sudah berbau. Dan kalau sudah begitu, jangan salahkan publik bila MBG bukan dipandang sebagai program gizi, melainkan proyek gila-gilaan yang menggadaikan perut anak-anak demi kursi kekuasaan.
Ironinya, pemerintah berulang kali berkata: “MBG ini investasi masa depan bangsa.” Betul, tetapi investasi macam apa yang hasilnya adalah muntah massal di ruang kelas? Apa jadinya bila anak-anak kehilangan kepercayaan, bukan hanya pada makanan gratis, tetapi pada negara yang memberikannya? Legitimasi bisa runtuh, bukan oleh kudeta, bukan oleh demo besar-besaran, melainkan oleh sepiring nasi basi.
Mungkin inilah paradoks negeri kita: terlalu sibuk memberi makan kamera, lupa memberi makan anak-anak dengan benar. Sibuk menghitung suara pemilu, lupa menghitung berapa banyak korban keracunan. Negara seperti sedang membagi nasi, tapi yang sesungguhnya sedang dibagi adalah risiko, dan yang ditelan rakyat hanyalah janji yang sudah basi.
Maka jangan heran bila suatu hari nanti sejarah mencatat: sebuah bangsa jatuh, bukan karena invasi asing, bukan karena perang besar, melainkan karena gagal memastikan makan gratis tidak berubah menjadi makan keracunan. Dan bila hari itu tiba, piring nasi akan menjadi saksi bahwa kekuasaan bisa runtuh hanya karena lupa mencuci tangan.