Tanggul Beton di Laut Cilincing, Aktivis ICMI Muda: Rakyat Terus Dipancing Marah

Polemik pembangunan tanggul beton di kawasan pesisir Cilincing, Jakarta Utara, kembali memicu reaksi keras dari berbagai kalangan. Aktivis ICMI Muda, Ahmad Anjay Al Baroesy, menilai keberadaan tanggul tersebut bukan hanya menyalahi semangat pengelolaan ruang laut, tetapi juga berpotensi mengundang amarah rakyat yang merasa aksesnya terhadap laut kian terampas.

Dalam keterangannya, Ahmad Anjay menyebut bahwa praktik penguasaan ruang laut yang awalnya dilakukan dengan pemasangan bambu kini meningkat dengan pembangunan struktur beton permanen.

“Kemarin laut diakuisisi dengan bambu, otak biadab mereka tidak puas, lalu mereka tingkatkan dengan beton! Apakah ini sengaja mancing kemarahan rakyat? Tidak ada satupun manusia yang berhak menguasai laut, kecuali negara, itupun untuk rakyat! Bongkar!” tegasnya, Rabu (10/9/2025).

Menurut Ahmad, laut seharusnya menjadi ruang hidup bersama yang dikelola negara untuk kepentingan rakyat, bukan dikavling atau diprivatisasi oleh kelompok tertentu. Ia mengkritik bahwa pembangunan tanggul beton di Cilincing berpotensi besar mematikan mata pencaharian nelayan tradisional yang selama ini menggantungkan hidup dari akses bebas ke laut.

“Nelayan kecil semakin tersingkir. Mereka yang dulu bisa melaut dengan tenang kini harus berhadapan dengan tembok raksasa yang membatasi aksesnya. Ini bukan hanya soal lingkungan, tetapi soal keadilan sosial,” ujarnya.

Baca juga:  Luhut Itu Toxic Rakyat, Jangan Lagi Diberi Peran untuk Negara 

Ia juga menegaskan bahwa pembangunan tanggul beton di wilayah laut terbuka dapat membawa dampak ekologis serius. Struktur beton permanen dapat mengubah arus laut, merusak ekosistem mangrove, serta mempercepat abrasi di wilayah pesisir sekitarnya.

“Beton bukan solusi ekologis. Jika alasan pemerintah atau pihak swasta adalah mitigasi banjir rob, maka solusinya harus berbasis alam, seperti restorasi mangrove, bukan sekadar menutup laut dengan beton,” ungkapnya.

Di sisi lain, Ahmad menuding bahwa proyek tanggul ini sarat dengan kepentingan bisnis. Ia menduga adanya keterlibatan pihak swasta atau korporasi besar yang ingin menguasai kawasan pesisir untuk kepentingan industri maupun reklamasi.

“Laut dijadikan komoditas. Rakyat kecil tidak dihitung, yang dipikirkan hanya keuntungan jangka pendek. Ini pola kolonial gaya baru,” tambah Ahmad.

Ahmad mendesak pemerintah, baik di tingkat provinsi maupun pusat, untuk menjelaskan secara terbuka dasar pembangunan tanggul beton di Cilincing. Transparansi dianggap penting agar rakyat tidak terus merasa dicurangi.

“Kami menuntut penjelasan resmi: siapa yang membangun, untuk kepentingan apa, dan bagaimana dampaknya terhadap masyarakat lokal. Jangan sampai rakyat benar-benar marah lalu melakukan perlawanan di lapangan,” tegas Ahmad.

Baca juga:  Kesalahan Ahok, Jokowi dapat Tekanan Luar Negeri dan Dalam Negeri

Sejumlah nelayan Cilincing mengaku sejak adanya pembangunan tanggul, wilayah tangkap mereka menyempit drastis. Bahkan, beberapa nelayan mengeluhkan sulitnya mencari ikan karena jalur yang biasa mereka gunakan sudah tertutup oleh struktur beton.

“Kami bingung. Laut tempat kami mencari makan sudah dipasangi tembok. Mau ke mana lagi kami melaut? Siapa yang peduli dengan kami?” kata Rahman, seorang nelayan Cilincing.

Pengamat politik Rokhmat Widodo menilai bahwa konflik ruang laut seperti di Cilincing tidak bisa dianggap remeh. Jika tidak ada solusi yang adil, persoalan ini bisa berkembang menjadi konflik horizontal antara masyarakat dengan aparat maupun pihak pengembang.

“Rakyat yang merasa dipinggirkan akan mudah tersulut emosi. Jika pemerintah tidak cepat turun tangan, potensi kerusuhan di lapangan terbuka lebar,” ujarnya

Kasus tanggul beton Cilincing kembali menjadi simbol tarik ulur antara kepentingan ekonomi, lingkungan, dan keadilan sosial. Pemerintah kini ditantang untuk bersikap tegas: apakah akan membongkar proyek yang dianggap melanggar hak rakyat, atau tetap melanjutkan dengan risiko menimbulkan gejolak sosial di pesisir Jakarta.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News