Penunjukan Purbaya Yudhi Sadewa sebagai Menteri Keuangan (Menkeu) dalam kabinet Presiden Prabowo Subianto dinilai bukan tanpa risiko politik. Pengamat intelijen dan geopolitik Amir Hamzah menyebut posisi strategis ini justru bisa menjadi batu sandungan bagi stabilitas pemerintahan.
Menurut Amir, Purbaya bukanlah figur netral, melainkan sosok yang berada dalam lingkaran pengaruh Luhut Binsar Pandjaitan. “Purbaya Yudhi Sadewa adalah orangnya Luhut. Penempatan dirinya di posisi kunci seperti Menteri Keuangan akan menyulitkan langkah-langkah strategis Prabowo,” kata Amir Hamzah dalam keterangannya, Rabu (10/9).
Amir menjelaskan, Luhut Binsar Pandjaitan memiliki rekam jejak sebagai sosok yang sangat loyal kepada mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Keterikatan itu membuat jaringan Luhut tetap erat dengan kepentingan lama. “Luhut lebih loyal ke Jokowi. Maka, orang-orang yang ditempatkan Luhut berpotensi membawa agenda yang tidak sepenuhnya sejalan dengan kepentingan pemerintahan baru,” ujar Amir.
Ia menilai, meski Purbaya dikenal sebagai ekonom dengan reputasi baik dan pengalaman panjang di bidang keuangan, kehadirannya tetap sarat kepentingan politik. Amir menyebut, posisi Menteri Keuangan adalah salah satu titik paling vital dalam pemerintahan, karena mengendalikan arus fiskal, alokasi anggaran, hingga relasi dengan lembaga internasional.
“Kalau Menkeu tidak sepenuhnya mendukung Presiden, kebijakan ekonomi bisa tersandera. Dan ini rawan menjadi instrumen politik untuk menekan Prabowo,” tegas Amir.
Dalam analisisnya, Amir melihat ada potensi gesekan dalam tubuh pemerintahan Prabowo jika Purbaya tetap menjalankan agenda yang sejalan dengan kepentingan Luhut dan Jokowi. Misalnya, dalam pengelolaan subsidi energi, arah pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN), maupun prioritas anggaran di sektor pertahanan yang menjadi perhatian utama Prabowo.
“Prabowo tentu ingin memperkuat basis anggaran untuk pertahanan dan pangan. Namun, bila Menkeu tidak sejalan, bisa muncul resistensi dalam eksekusi kebijakan. Bahkan, bukan tidak mungkin akan ada tarik-menarik antara kelompok Luhut dan lingkaran inti Prabowo,” papar Amir.
Penempatan figur-figur berafiliasi dengan Luhut dalam kabinet, menurut Amir, adalah konsekuensi dari transisi politik pasca-Jokowi. Prabowo harus mengakomodasi sejumlah kekuatan untuk menjaga stabilitas. Namun, risiko terbesar adalah ketika akomodasi itu justru melahirkan “dua matahari” dalam pengambilan keputusan strategis.
“Kalau tidak dikelola dengan baik, kehadiran orang-orang Luhut akan melahirkan friksi internal. Mereka bisa menjadi saluran komunikasi kepentingan Jokowi, yang mungkin berbeda dengan prioritas Prabowo,” ujar Amir.
Amir menegaskan, ujian terbesar Prabowo bukan hanya menjaga pertumbuhan ekonomi di tengah ketidakpastian global, tetapi juga memastikan soliditas internal kabinet. “Kekuatan eksternal bisa dihadapi bila internal solid. Tapi kalau ada infiltrasi kepentingan, pemerintahan bisa terganggu dari dalam,” katanya.
Ia pun menyarankan agar Prabowo segera melakukan evaluasi terhadap posisi-posisi strategis, termasuk di Kementerian Keuangan. “Prabowo harus berani memastikan Menkeu benar-benar loyal kepadanya, bukan kepada tokoh lain. Kalau tidak, maka risiko instabilitas kebijakan fiskal akan terus menghantui,” pungkas Amir.