Tambang Nikel Purnawirawan Jenderal Polisi & Pejabat Sultra di Kabaena: Warga Tersisih, Pulau Hancur dan Negara Diam

Pulau Kabaena yang hanya seluas 891 km² kini menjadi potret buram bagaimana kekuasaan, modal, dan aparat berpadu merampas ruang hidup masyarakat sekaligus merusak lingkungan. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulawesi Tenggara bersama Satya Bumi, Senin (23/6/2025), merilis laporan riset terbaru berjudul “Kabaena Jilid II: Menelusuri Pintu Awal Kerusakan dari Jejaring Politically Exposed Person.”

Hasil riset itu membongkar keterlibatan purnawirawan jenderal polisi hingga keluarga pejabat penting Sultra dalam bisnis tambang nikel di Kabaena. Temuan ini menegaskan adanya pola impunitas, konflik kepentingan, serta pelanggengan pelanggaran hukum yang diduga disponsori oleh pemerintah sendiri.

Dua perusahaan tambang yang paling menonjol di Kabaena, PT Arga Morini Indah (AMI) dan PT Arga Morini Indotama (Amindo), dipimpin oleh Achmad Fachruz Zaman, mantan Direktur Direktorat Samapta Polri.

Rantai bisnis ini tak berhenti di sana. Aktivitas AMI dan Amindo juga berkelindan dengan PT Rowan Sukses Investama milik Arif Kurniawan. Arif diketahui dekat dengan Arinta Nila Hapsari, istri Gubernur Sultra, Andi Sumangerukka. Keterhubungan itu terbukti dari posisi Arif sebagai Direktur Utama PT Tribhuwana Sukses Mandiri, tempat Arinta tercatat sebagai salah satu pemegang saham.

Lebih jauh lagi, Arif juga tercatat sebagai pemilik manfaat PT Dua Delapan Resources yang membeli saham PT Tonia Mitra Sejahtera (TMS)—tambang milik Andi Sumangerukka yang secara terbuka diakui sang gubernur saat debat Pilgub Sultra 2024 lalu.

TMS dituding sebagai salah satu perusahaan yang merusak hutan lindung Kabaena. Dengan demikian, lingkaran bisnis keluarga gubernur Sultra dan purnawirawan aparat kepolisian semakin mempertegas dugaan adanya konflik kepentingan dalam pengelolaan izin, pengawasan, hingga penindakan hukum tambang di pulau kecil itu.

Baca juga:  LFP Anti-Nikel, Kesalahan Berfikir Gibran

Walhi dan Satya Bumi menegaskan, Kabaena adalah pulau kecil yang secara tegas dilindungi Undang-undang No. 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil. Regulasi itu jelas melarang pertambangan di pulau kecil. Bahkan Mahkamah Konstitusi lewat Putusan No. 35/PUU-XXI/2023 kembali menegaskan larangan tersebut.

Namun, kenyataannya Kabaena kini dikepung 15 perusahaan dengan total konsesi tambang mencapai 37.894,05 hektare. Tiga perusahaan—PT AMI, PT Amindo, dan PT AHB—bahkan memiliki konsesi tumpang tindih dengan hutan lindung, termasuk 19,59 ha milik PT AHB.

Deforestasi terus menggerus pulau itu. Data Hansen mencatat kehilangan hutan di konsesi PT AMI seluas 506,55 hektare sejak 2001–2024, sementara PT Amindo membuka 194,51 hektare hutan sejak 2002–2024.

Empat desa utama yang dikaji—Liwu Lompona, Talaga Besar, Kokoe, dan Wulu—mengalami kerusakan paling parah. Air laut tercemar, perikanan menurun drastis, dan mata pencaharian masyarakat yang bergantung pada laut dan pesisir pun hancur.

“Kalau dulu hasil tangkapan ikan melimpah, sekarang laut berubah keruh dan sepi. Sawah juga tidak lagi produktif karena aliran air tercemar,” kata salah satu warga Talaga Besar, yang enggan disebutkan namanya.

Lebih mengkhawatirkan, dampak tambang nikel kini masuk ke tubuh manusia. Hasil uji laboratorium yang dipaparkan Satya Bumi menemukan kadar nikel dalam urin warga Kabaena mencapai 4,77–36,07 µg/L, dengan rata-rata 16,65 µg/L.

Sebagai perbandingan, kadar normal masyarakat umum berdasarkan NHANES (AS) hanya 1,11 µg/L. Bahkan di Beijing, Shanghai, atau komunitas dekat smelter Norwegia, kadar median hanya sekitar 3–3,6 µg/L. Artinya, warga Kabaena menyimpan kadar nikel 5–30 kali lebih tinggi dibanding populasi normal.

Kondisi ini bukan sekadar statistik. Paparan nikel terbukti menimbulkan stres oksidatif, merusak DNA, menyebabkan inflamasi sistemik, hingga meningkatkan risiko diabetes tipe 2 dan kanker.

Baca juga:  Demi Wujudkan Hilirisasi, Ketua MPP PRIMA Dukung Pengusutan Ekspor Ilegal 5 Jutan Ton Bijih Nikel

“Ini sudah bukan soal lingkungan saja, tapi juga ancaman kesehatan masyarakat dalam jangka panjang,” kata Salma Inaz Firdaus, juru kampanye Satya Bumi.

Alih-alih hadir melindungi, institusi negara justru saling lempar tanggung jawab. Kepala Bidang Minerba Dinas ESDM Sultra, Muhammad Hisbullah Idris, berkilah tidak punya kewenangan pengawasan karena semuanya diambil alih pusat.

Sementara pejabat DLH Sultra, Ibnu Hendro Prasetianto, hanya menyebut sudah ada sanksi administrasi dari pusat terhadap beberapa perusahaan, tanpa menyebut rinci nama perusahaan ataupun tindak lanjut tegasnya.

Walhi dan Satya Bumi menilai sanksi administratif hanyalah kosmetik. Mereka mendesak pemerintah segera:

  • Melakukan audit menyeluruh atas semua IUP di Kabaena;

  • Mencabut izin PT AMI, PT Amindo, PT AHB, serta perusahaan tambang lain di Kabaena;

  • Meninjau kembali Pasal 162 UU Minerba 2020 yang berpotensi mengkriminalisasi masyarakat yang membela lingkungan;

  • Membuka pembahasan revisi RTRW Sultra secara transparan dan melibatkan publik.

“Kalau IUP tidak dicabut, maka kerusakan akan terus terjadi. Reboisasi tanpa menghentikan tambang hanya percuma. Ini sama saja memelihara bencana,” tegas Gian Purnamasari dari Walhi Sultra.

Pulau Kabaena kini berada di persimpangan: menjadi surga terakhir bagi masyarakat lokal yang hidup dari laut dan tanah, atau berubah total menjadi ladang eksploitasi nikel yang dikuasai elit politik dan aparat berseragam.

Dengan kadar nikel di urin warga 30 kali lebih tinggi dari normal, hutan yang terus digunduli, serta laut yang semakin tercemar, Kabaena perlahan menuju kehancuran.

Dan ironisnya, semua itu terjadi di depan mata negara yang justru diam—bahkan diduga ikut merestui.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News