Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Provinsi Lampung, Prof. Dr. Sudarman, M.A., memberikan arahan dalam Diskusi Terbatas Transformasi Ideologi Jalan Menuju Wasathiyah bertajuk “Membangun Kesadaran Baru Ideologi Sehat & Moderat” yang digelar di Hotel Horison, Bandar Lampung, Senin (1/9/2025).
Kegiatan ini diikuti 150 peserta eks-JI (Jamaah Islamiyah) yang telah berikrar kembali ke pangkuan NKRI. Hadir pula sejumlah tokoh penting, antara lain Kasatgaswil Densus 88 Lampung Kombes Stialanri Kurniawan Setinggar, Plt. Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Lampung Dr. KH. Erwinto, S.Ag., M.Kom.I, serta mantan Amir JI Ust. Ir. Parawijayanto.
Densus 88 mengapresiasi kegiatan tersebut dan berharap momentum ini menjadi ruang dialog yang sehat. Pertanyaan besar yang kerap muncul dari para eks-JI, yakni “apakah perjalanan kembali ke NKRI akan berjalan lancar?”, coba dijawab melalui diskusi yang hangat dan penuh semangat kebangsaan.
Dalam paparannya, Prof. Sudarman menegaskan bahwa bagi Muhammadiyah, NKRI adalah Darul Ahdi Wasyahadah, yaitu negara konsensus dan kesaksian bersama. Pancasila sebagai dasar negara adalah titik temu yang harus dijaga.
“Indonesia adalah negeri indah, zamrud khatulistiwa, sepenggal surga yang dilemparkan ke bumi. Tugas kita adalah mensyukurinya, menjaganya bersama, dan membangun umat dengan karakter wasathiyah: adil, jujur, serta bijak menghadapi perubahan,” ujarnya.
Ia menekankan, segala bentuk kekerasan dan anarkisme bertentangan dengan prinsip Islam. Aspirasi warga negara harus disampaikan secara arif dan bijaksana.
Sudarman juga memberikan apresiasi terhadap kinerja TNI-Polri yang terus menjaga keamanan dan stabilitas bangsa. Ia menekankan pentingnya kerjasama seluruh elemen bangsa untuk menciptakan suasana kondusif.
“TNI-Polri berada di garda depan dengan segala risiko, termasuk pengorbanan nyawa. Masyarakat perlu berempati dan menjadi mitra juang agar lahir kehidupan damai dan sejahtera bagi seluruh rakyat,” jelasnya.
Menghadapi era disrupsi, Sudarman mengutip buku The Death of Expertise karya pakar ilmu sosial US Naval College, yang menggambarkan fenomena banyak orang merasa lebih pakar dari ahli sesungguhnya.
“Banyak orang baru belajar agama, tapi merasa lebih paham dibanding seorang kiai yang puluhan tahun menekuni ilmu agama. Maka, para ustaz harus beradaptasi dengan teknologi, berdakwah di dunia digital dengan konten positif, terutama Islam wasathiyah yang memajukan peradaban, bukan pemahaman sempit dan parsial,” tegasnya.
Diskusi ini ditutup dengan ajakan memperkuat semangat kebangsaan, menumbuhkan ta’awun (tolong-menolong), dan meneguhkan komitmen untuk bersama-sama menjaga NKRI dalam bingkai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.