Oleh: Muhammad Yunus Hanis Syam, pemerhati politik dan budaya
Jakarta baru saja dilanda kerusuhan akibat demonstrasi besar. Beberapa toko dijarah, rumah publik figur disatroni massa, dan aparat keamanan sibuk memukul mundur rakyat. Media berhari-hari memberitakan peristiwa itu, lengkap dengan narasi kriminalisasi dan seruan “hukum harus ditegakkan”. Namun, di balik drama jalanan itu, ada penjarahan lain yang lebih besar, lebih sistematis, dan lebih halus. Bedanya: penjarahan ini tidak disebut kejahatan, melainkan “kebijakan strategis nasional”.
Ya, para elite negeri ini sudah lama menguasai seni menjarah tanpa disebut penjarah. Mereka menjarah dengan dasi rapi, bukan dengan linggis. Mereka menjarah sambil tersenyum di depan kamera, bukan dengan wajah penuh debu. Dan yang paling canggih, mereka menjarah dengan alat sakti bernama undang-undang.
Kalau maling biasa takut ketahuan, maling berseragam dan berdasi justru bangga karena aksinya diabadikan dalam Lembaran Negara. Setiap kali rakyat menolak tambang, perkebunan sawit raksasa, atau proyek tambang nikel yang menyapu habis hutan adat, para elite dengan enteng mengeluarkan jurus: “Semua ini sah, sudah ada dasar hukumnya.”
Apa yang disebut “dasar hukum” itu sejatinya hanyalah surat izin menjarah dengan stempel resmi negara. Jika hutan Kalimantan gundul, itu bukan salah investor. Jika sungai di Sulawesi keruh dan penuh limbah, itu bukan salah korporasi. Jika masyarakat adat kehilangan tanah, itu bukan salah pemerintah. Semua hanya “konsekuensi pembangunan yang legal”.
Legalitas, rupanya, telah menjadi parfum untuk menutupi bau busuk penjarahan.
Lebih ironis lagi, rakyat yang berteriak karena lahannya dirampas atau hutannya dibabat justru dituduh melawan hukum. Aparat keamanan yang seharusnya menjaga rakyat, berubah fungsi menjadi satpam bagi para pemodal.
Lihat saja bagaimana warga adat yang menolak tambang seringkali berhadapan dengan pentungan, gas air mata, atau jeruji besi. Sementara itu, alat berat penggundul hutan dibiarkan melenggang tanpa hambatan, seolah-olah dialah warga negara paling utama.
Seorang ibu di pedalaman Kalimantan bisa ditangkap karena “menghalangi investasi”. Tetapi, seorang taipan bisa menghilangkan ribuan hektar hutan tanpa sekalipun dipanggil polisi. Rakyat dianggap onar, elite dianggap penyelamat bangsa.
Kalimantan adalah contoh paling telanjang dari drama satire ini. Hutan yang dahulu disebut “paru-paru dunia” kini berubah jadi papan iklan yang menawarkan konsesi tambang dan perkebunan. Dari udara, yang tampak bukan lagi hamparan hijau, melainkan luka cokelat kehitaman.
Ironinya, di tengah kabut asap yang menyesakkan, elite justru berbicara tentang “transisi energi hijau” sambil meresmikan smelter nikel baru. Seakan-akan, dengan menambahkan kata “hijau”, mereka bisa mencuci dosa ekologis yang mereka ciptakan.
Apakah rakyat yang protes boleh bicara? Tentu tidak. Rakyat hanya diberi hak untuk menghirup asap, bukan hak untuk menolak penyebabnya.
Para elite pintar memainkan kata. Penjarahan disebut “pembangunan”, perampasan lahan disebut “penataan ruang”, dan pengusiran warga disebut “relokasi untuk masa depan yang lebih baik”.
Mereka selalu punya narasi indah: demi devisa, demi investasi, demi pertumbuhan ekonomi. Tapi siapa yang menikmati devisa itu? Siapa yang merasakan pertumbuhan ekonomi itu? Apakah petani kecil yang lahannya hilang? Apakah masyarakat adat yang hutan keramatnya dibabat?
Rakyat hanya kebagian debu, lumpur, dan janji manis. Sementara elite dan kroninya tertawa di hotel mewah, berdebat soal “masa depan hijau berkelanjutan” dengan segelas anggur impor di tangan.
Lucunya, rakyat kecil yang mengambil televisi bekas dari sebuah rumah saat kerusuhan bisa dijebloskan ke penjara belasan tahun. Tetapi elite yang menjarah emas, batu bara, minyak, gas, dan nikel dari bumi Indonesia justru dipuja-puji sebagai pahlawan pembangunan.
Jika pencuri kecil disebut kriminal, maka pencuri besar disebut “investor strategis”. Jika pencuri kecil melarikan diri dari polisi, pencuri besar justru dikawal polisi.
Negeri ini seolah sedang menulis naskah komedi gelapnya sendiri. Di satu sisi, rakyat kecil dijadikan kambing hitam atas segala kerusuhan. Di sisi lain, elite berdasi menjarah dengan legalitas, memamerkan hasil jarahan mereka dalam bentuk gedung tinggi, rekening gemuk, dan proyek mercusuar.
Kalimantan gundul, rakyat tertindas, aparat sibuk menjaga modal, dan undang-undang menjadi saksi bisu bahwa penjarahan bisa dilakukan dengan sangat rapi, sangat elegan, dan sangat sah.
Maka jangan heran, jika di negeri ini penjahat sejati bukan mereka yang berlari di jalan membawa televisi curian. Penjahat sejati adalah mereka yang duduk di kursi empuk, menandatangani UU, dan menyebut penjarahan sebagai pembangunan.