Pabrik BYD vs Sawah Rakyat: Siapa Korban Sesungguhnya?

Awalil Rizky dalam kanal YouTube-nya pada Senin (25/08) menyoroti silang pendapat antara Kementerian Perindustrian dan Kementerian Pertanian terkait status lahan pembangunan pabrik mobil listrik BYD (Build Your Dreams) di Subang, Jawa Barat.

Menurutnya, persoalan ini memperlihatkan betapa koordinasi antar kementerian dan lembaga pemerintah masih semrawut, bahkan setelah hampir setahun pemerintahan Presiden Prabowo berjalan.

Awalil mengutip laporan Bloomberg (23/08/2025) yang mencatat perbedaan pandangan serius antar kementerian.

Menteri Pertanian bersama Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menyatakan sebagian lahan BYD masuk dalam kawasan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B). Karena itu, daerah meminta kompensasi tiga kali lipat sawah baru agar ketahanan pangan tidak terganggu. Misalnya, jika 200 hektar terdampak, maka 600 hektar sawah baru harus disiapkan.

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang membantah klaim itu. Ia menegaskan bahwa lahan BYD sudah berstatus kawasan industri resmi, sehingga tidak ada masalah terkait penggunaan lahan.

Perbedaan klaim ini menciptakan kebingungan publik karena hingga kini tidak jelas berapa luas lahan pertanian yang terdampak dan bagaimana mekanisme kompensasinya.

Menurut Awalil, sengkarut ini memperlihatkan tarik-menarik kepentingan antara dua hal:

1. Ekspansi industri kendaraan listrik sebagai bagian dari strategi investasi besar BYD dan PinPAS yang nilainya mencapai miliaran dolar.
2. Kewajiban perlindungan lahan pangan produktif sesuai regulasi tata ruang dan ketahanan pangan nasional.

BYD sendiri telah menggelontorkan investasi sekitar Rp1,7 triliun dan merencanakan pengembangan produksi hingga 150 ribu unit per tahun, termasuk lini baterai dan kendaraan hybrid. Bahkan, perusahaan menambah akuisisi lahan 80 hektar lagi di Subang Smartpolitan.

Awalil menekankan bahwa industrialisasi memang penting, apalagi investasi asing bisa membawa lapangan kerja dan efek ganda ekonomi. Namun, pertanian dan lingkungan tidak boleh dikorbankan hanya demi hitungan ekonomi semata.

Ia mengingatkan bahwa jika lahan pertanian diganti, harus benar-benar sesuai peta wilayah dan tidak sekadar “tukar-menukar” yang ujungnya tetap mengurangi sawah produktif.

“Jangan sampai nanti kesepakatan hanya didasarkan pada angka ganti rugi, bukan pada fakta peta wilayah. Itu bisa menimbulkan kerugian jangka panjang bagi ketahanan pangan,” ujarnya.

Bagi Awalil, inti persoalan ini bukan sekadar BYD atau LP2B, melainkan koordinasi pemerintahan yang lemah. Perbedaan pernyataan antar kementerian yang diumbar ke publik menimbulkan simpang siur informasi dan memperlihatkan ketidakjelasan tata kelola.

“Setelah hampir setahun pemerintahan berjalan, seharusnya koordinasi sudah lebih baik. Apalagi mulai 2026, RAPBN sepenuhnya rancangan dari pemerintahan Prabowo. Jika koordinasi masih semrawut, maka persoalan serupa akan terus berulang,” tegasnya.

Investasi asing seperti BYD memang membawa manfaat ekonomi, tetapi tidak boleh mengorbankan lahan pangan dan tata ruang. Pemerintah harus segera menyelesaikan simpang siur status lahan dengan dasar peta wilayah yang jelas. Lebih dari itu, koordinasi antar kementerian harus dibenahi agar kebijakan strategis tidak terus menimbulkan kebingungan publik.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News


Baca Juga