Badut-badut di DPR

Oleh: Muhammad Yunus Hanis Syam, Pemerhati Sosial dan Budaya

Ada sebuah panggung besar bernama Senayan. Di sanalah para “wakil rakyat” berdandan rapi, mengenakan jas mahal, dasi mengilap, sepatu kulit impor, dan wajah penuh bedak kamera. Mereka datang dengan mobil mewah, masuk ruang sidang yang dilengkapi kursi empuk ber-AC, dan berlagak serius membicarakan nasib bangsa. Tapi, alih-alih menghadirkan kebijakan yang membela rakyat, pemandangan yang sering muncul justru seperti sirkus keliling: penuh badut-badut yang asyik berjoget, bercanda, tertawa lepas—seolah negeri ini sedang baik-baik saja.

Baru-baru ini, sejumlah anggota DPR dipertontonkan berjoget-joget dalam sebuah acara. Bagi mereka mungkin itu hiburan, tapi bagi rakyat yang sedang kesulitan membeli beras, minyak goreng, hingga membayar sekolah anak, tontonan itu seperti menepuk jidat. Rasanya, kalau mereka benar-benar “wakil rakyat”, mestinya ikut merasakan pedihnya harga-harga yang naik. Tapi yang terjadi justru sebaliknya: mereka menari di atas penderitaan rakyat.

Tak cukup dengan joget, kabarnya gaji dan tunjangan anggota DPR akan kembali naik. Dengan segala fasilitas, total bisa mencapai Rp250 juta sebulan. Mari kita hitung sederhana: jika gaji seorang anggota DPR setara dengan 250 juta, maka ia bisa membeli 5.000 kilogram beras premium. Bandingkan dengan buruh pabrik atau petani gurem yang bahkan untuk membeli 5 kilogram beras saja harus berpikir ulang. Jadi, pantas saja jika rakyat semakin yakin: mereka bukan lagi wakil rakyat, tapi wakil keluarga masing-masing yang sedang berusaha mempertebal rekening pribadi.

KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur pernah melontarkan kalimat satir: “DPR itu seperti taman kanak-kanak.” Waktu itu banyak yang menertawakan, tapi kini kalimat itu terbukti benar adanya. Bahkan, mungkin Gus Dur keliru satu huruf: bukan taman kanak-kanak, tapi taman hiburan. Bedanya, tiket masuk taman hiburan ini dibayar dengan pajak rakyat, dan para pengunjungnya bukan rakyat jelata, melainkan politisi-politisi yang pandai memainkan drama.

Mengapa saya menyebut mereka badut? Karena sama seperti badut di pesta ulang tahun, tugas utama mereka adalah menghibur—bukan menyelesaikan masalah. Bedanya, badut pesta biasanya membuat anak-anak tertawa, sementara badut DPR membuat rakyat menangis. Mereka pintar bersandiwara: ketika pemilu datang, mereka bersujud di rumah-rumah rakyat, bersalaman sambil berjanji akan memperjuangkan harga kebutuhan pokok. Namun setelah duduk di kursi empuk, janji tinggal janji. Yang diperjuangkan justru proyek-proyek, kuota anggaran, hingga fasilitas tambahan.

Lihat saja, betapa cepatnya mereka menyetujui kenaikan gaji dan tunjangan sendiri. Tapi ketika rakyat berteriak soal BBM naik, pupuk langka, atau listrik mahal, telinga mereka tiba-tiba tuli, lidah mereka kelu, tangan mereka kaku. Seperti badut, mereka hanya pintar memamerkan gerakan lucu tapi tanpa substansi.

DPR hari ini tak ubahnya sirkus akbar. Ada yang berperan sebagai pembela rakyat (padahal sedang menghitung fee proyek), ada yang berperan sebagai singa garang dalam rapat (padahal hanya baca teks staf), ada pula yang sekadar menjadi penggembira, siap mengangkat tangan saat voting. Sirkus ini lengkap dengan musik joget, tepuk tangan, hingga gimmick drama saling serang. Ironisnya, penonton setianya adalah rakyat yang membayar mahal tiket pertunjukan ini melalui pajak, tapi tak pernah dapat hiburan yang layak.

Sementara badut-badut Senayan bersuka ria, rakyat di bawah harus menanggung beban berat. Buruh bekerja 12 jam dengan upah pas-pasan, petani menggarap sawah yang pupuknya mahal, nelayan melaut dengan solar yang harganya mencekik. Ironisnya, setiap kali rakyat protes, anggota DPR dengan enteng berkata: “Itu resiko hidup di negara berkembang.”

Seolah-olah penderitaan rakyat hanya sekadar catatan kaki, bukan masalah utama. Padahal mereka ada di kursi DPR karena mandat rakyat. Sayangnya, mandat itu kini berubah fungsi menjadi tiket VIP untuk menikmati segala fasilitas istimewa.

Kita tidak butuh badut di Senayan. Kita butuh negarawan. Kita tidak butuh joget di panggung mewah, kita butuh kerja nyata di lapangan. Jika DPR terus menjadi taman hiburan, maka rakyat akan semakin muak. Dan jangan salah, rakyat bisa saja mengubah sirkus itu menjadi panggung perlawanan.

Gus Dur benar, DPR seperti taman kanak-kanak. Tapi kini, bahkan lebih parah: taman kanak-kanak masih punya guru yang mendidik. DPR kita? Penuh badut yang sibuk menghibur diri sendiri.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News


Baca Juga