Oleh: Habib Umar Alhamid, Ketua Umum Generasi Cinta Negeri (Gentari)
HUT RI ke-80 seharusnya menjadi momentum refleksi bagi bangsa Indonesia. Di tengah semarak perayaan, beredar pula berbagai isu yang menggiring opini publik, sebagian memunculkan rasa cemas dan panas, sebagian lain sengaja ditiupkan untuk melemahkan legitimasi pemerintah. Rakyat perlu tenang, tidak mudah termakan isu, namun tetap waspada terhadap kebijakan yang berpotensi menyulitkan kehidupan sehari-hari.
Narasi yang muncul belakangan ini sebagai simbol dari masalah lama yang terus dipelihara. Isu-isu tersebut digemukkan, diangkat kembali, lalu dipakai untuk menimbulkan ketidakpercayaan terhadap presiden. Inilah bentuk permainan politik yang harus diwaspadai. Rakyat jangan sampai terjebak dalam arus informasi menyesatkan, karena keterprovokasian hanya akan merugikan bangsa sendiri.
Prabowo Subianto memang sedang menghadapi tekanan, bukan dalam arti kelemahan pribadi, melainkan karena beban berat yang muncul dari kebijakan yang dibuat sebagian pembantunya yang meresahkan rakyat.
Kebijakan pemblokiran rekening tidak aktif menjadi contoh nyata. Bagi masyarakat kecil, rekening adalah simbol keamanan ekonomi. Ketika kabar pemblokiran muncul tanpa penjelasan yang memadai, keresahan meningkat dan kemarahan rakyat pun muncul.
Begitu pula dengan kebijakan kenaikan pajak daerah, khususnya PBB dan NJOP. Banyak aturan tersebut lahir dari kepala daerah atau bahkan regulasi lama, namun pada akhirnya sosok presiden yang mendapat sorotan negatif. Sebelumnya ada menteri yang secara mendadak merubah regulasi pembelian gas elpiji 3 kg (gas melon) dan berujung ‘gaduh’.Tekanan ini nyata: meski bukan berasal langsung dari keputusan presiden, dampaknya tetap menimpa nama dan wibawa kepala negara.
Ada dugaan perlawanan terselubung di dalam kabinet. Menteri yang seharusnya menjadi pembantu presiden justru dapat menjerumuskan rakyat ke dalam kesulitan melalui kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat. Situasi seperti ini menimbulkan pertanyaan, apakah ada agenda politik tertentu di balik kebijakan yang membuat presiden tampak terpuruk di mata rakyat. Soal kenaikan pajak PBB yang terjadi hampir disemua daerah. Dimana dan kemana Mendagri?
Presiden harus mewaspadai hal semacam ini. Menteri yang menyulitkan rakyat hanya akan menjadi beban bagi pemerintah, dan pada akhirnya merusak kepercayaan masyarakat kepada presiden. Keberanian untuk menegur bahkan mengganti menteri yang tidak sejalan dengan kepentingan rakyat merupakan langkah yang tidak bisa ditunda.
Prabowo bukan tipe pemimpin yang berdiam diri menghadapi masalah. Upaya mencari solusi melalui diplomasi luar negeri adalah bagian dari strategi besar untuk memperbaiki keadaan di dalam negeri. Namun yang terpenting adalah menjaga kepercayaan rakyat.
Ada 3 (tiga) langkah mendesak yang perlu diambil Presiden:
-Pemerintah harus menjelaskan secara terbuka dasar kebijakan yang menyentuh langsung kehidupan rakyat, terutama terkait rekening dan pajak.
-Presiden perlu meninjau ulang komposisi kabinet, memastikan tidak ada menteri yang justru melemahkan wibawa pemerintah.
-Rakyat perlu tetap kritis dan waspada, tetapi tidak ikut menyebarkan isu yang hanya melemahkan bangsa sendiri.
Tekanan terhadap Prabowo memang nyata. Namun tekanan ini bukan akhir, melainkan ujian. Jika mampu keluar dari jerat kebijakan yang membebani rakyat, serta berani mengambil keputusan dan langkah tegas terhadap menteri yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat, maka justru tekanan ini akan menjadi batu loncatan untuk memperkuat kepemimpinan.
Rakyat tidak perlu cemas, cukup waspada saja. Isu lama yang dipelihara tidak boleh memecah belah bangsa. Perjuangan untuk memperbaiki negeri ini harus terus berjalan, dan presiden membutuhkan dukungan rakyat untuk menuntaskan amanah besar tersebut.