Warung Remang-Remang di KM 17 Mantup Lamongan Dinilai Ancam Citra Kota Santri

Di saat mayoritas warga Lamongan merayakan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Republik Indonesia dengan penuh khidmat, suka cita, dan rasa nasionalisme yang mendalam, sebuah warung remang-remang di KM 17 Jalan Raya Mantup–Lamongan, Kecamatan Kembangbahu, justru menjadi sorotan negatif.

Warung yang disebut-sebut milik seorang warga berinisial “C” ini diduga kuat menjadi tempat praktik karaoke liar dengan kehadiran “bunga warung” atau wanita penjaga warung berpakaian vulgar. Lebih dari itu, aktivitas yang berlangsung juga disinyalir tidak lepas dari peredaran minuman keras (miras), yang membuat keresahan masyarakat semakin meningkat.

Lamongan selama ini dikenal luas sebagai “Kota Santri”, tempat lahir dan tumbuhnya para ulama, kiai, dan santri unggulan yang menyebarkan nilai-nilai religius ke berbagai penjuru negeri. Citra religius ini kini dinilai terancam dengan keberadaan warung remang-remang di jalur utama Mantup–Lamongan tersebut.

“Ini benar-benar meresahkan. Bagaimana mungkin Lamongan yang kita banggakan sebagai Kota Santri justru tercoreng dengan adanya tempat hiburan seperti ini? Ini jelas merusak sendi-sendi sosial dan norma agama,” ungkap salah satu tokoh agama yang enggan disebutkan namanya.

Tokoh agama itu menambahkan, praktik karaoke liar dengan wanita berpakaian vulgar dan keberadaan miras tidak hanya melukai citra religius, tetapi juga berpotensi menjadi pintu masuk berbagai bentuk degradasi moral dan sosial.

Baca juga:  Disnaker Lamongan Gandeng BP3MI Sosialisasikan Penempatan dan Perlindungan Pekerja Migran

Salah seorang warga sekitar yang juga enggan diungkap identitasnya mengaku prihatin dengan keberadaan warung tersebut. Ia menilai praktik hiburan menyimpang ini dapat memicu masalah yang lebih serius.

“Warung itu menyediakan karaoke dengan wanita yang pakaiannya tidak pantas. Pelanggan bebas membawa minuman keras dari luar. Ini jelas tidak sehat bagi masyarakat, terutama bagi anak-anak muda kita yang bisa terpengaruh,” ujarnya.

Menurut warga, dampak negatif keberadaan tempat hiburan menyimpang seperti itu bisa meluas. Bukan hanya soal penurunan moral, tetapi juga bisa memicu tindak kriminalitas, kenakalan remaja, hingga perpecahan sosial di masyarakat.

Kekhawatiran itu semakin besar karena hanya berjarak sekitar empat kilometer dari lokasi warung tersebut terdapat sebuah pondok pesantren (Ponpes) di Desa Dumpi Agung, Kecamatan Kembangbahu. “Kedekatan lokasi dengan pesantren menambah kekhawatiran kami. Santri dan generasi muda bisa saja terpengaruh hal-hal buruk yang ditimbulkan dari aktivitas itu,” tambah warga lainnya.

Masyarakat bersama tokoh agama di Kembangbahu sepakat untuk meminta pemerintah daerah dan aparat kepolisian segera mengambil langkah tegas. Tanpa intervensi nyata, mereka khawatir keberadaan warung remang-remang itu akan semakin meluas pengaruhnya dan merusak tatanan sosial masyarakat Lamongan.

Baca juga:  Bapenda Lamongan Targetkan Pendapatan PBB Rp 40 M

“Harus ada tindakan cepat, jangan sampai dibiarkan berlarut-larut. Kalau pemerintah dan aparat tidak tegas, warung seperti ini akan semakin berkembang dan makin sulit diberantas. Yang dirugikan bukan hanya warga sekitar, tetapi masa depan generasi muda Lamongan,” tegas seorang tokoh masyarakat.

Lamongan yang selama ini dikenal sebagai pusat perkembangan pesantren dan gerakan keagamaan Islam memiliki tanggung jawab besar menjaga warisan tersebut. Identitas sebagai Kota Santri tidak boleh dikalahkan oleh praktik hiburan yang menyimpang dan berlawanan dengan nilai-nilai religius.

Bagi masyarakat, penutupan warung remang-remang yang dinilai merusak ini bukan sekadar soal ketertiban, melainkan bagian dari menjaga marwah kota agar tetap religius dan berwibawa.

Harapan mereka kini tertuju kepada aparat dan pemerintah daerah untuk bertindak cepat, tegas, dan terukur demi menyelamatkan generasi muda dan menjaga citra Lamongan tetap sebagai Kota Santri yang bermartabat. Pewarta: Hadi Hoy

 

Simak berita dan artikel lainnya di Google News