Gelombang kritik muncul setelah viralnya surat undangan resmi Bimbingan Teknis (Bimtek) Pembelajaran Mendalam, Koding/KA, dan Penguatan Karakter Region Jawa Tengah 2 yang akan digelar di Solo pada 20–24 Agustus 2025 mendatang. Surat undangan itu hanya ditujukan kepada sekolah-sekolah Muhammadiyah, tanpa melibatkan sekolah negeri, NU, maupun lembaga pendidikan umum lainnya.
Koordinator Pemuda Aswaja, Nur Khalim, menilai keputusan tersebut sebagai bentuk diskriminasi yang dilakukan oleh Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti. Ia menegaskan bahwa kementerian bukanlah milik Muhammadiyah, melainkan institusi negara yang seharusnya melayani semua warga tanpa sekat organisasi.
“Kemendikdasmen bukan milik Muhammadiyah. Undangan itu jelas diskriminatif, seolah-olah pendidikan dasar dan menengah hanya hak satu kelompok. Padahal negara harus hadir untuk semua, tanpa sekat ormas,” kata Nur Khalim dalam pernyataan kepada wartawan, Ahad (17/8/2025).
Viralnya surat undangan itu segera menimbulkan pertanyaan publik mengenai netralitas pemerintah dalam menjalankan kebijakan pendidikan. Bagi Nur Khalim, langkah tersebut menunjukkan adanya standar ganda. Jika tujuan Bimtek adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, maka seharusnya semua sekolah tanpa kecuali diberikan akses yang sama. “Kalau hanya Muhammadiyah, ini lebih mirip agenda ormas ketimbang program pemerintah,” tegasnya.
Menurut analisis Nur Khalim, kebijakan yang terkesan eksklusif itu menyimpan bahaya serius bagi dunia pendidikan. Pertama, kepercayaan publik terhadap pemerintah akan merosot. Pendidikan adalah sektor yang sangat sensitif karena menyangkut masa depan generasi bangsa. Jika kementerian tidak menjaga netralitas, maka masyarakat akan kehilangan keyakinan pada pemerintah. Kedua, potensi konflik sosial antarormas bisa muncul, mengingat Jawa Tengah merupakan basis kuat NU di samping juga ada Muhammadiyah dan sekolah negeri. Undangan yang hanya mengakomodasi satu kelompok dapat memicu gesekan sosial dan memperlebar jarak antarbasis pendidikan ormas. Ketiga, capaian mutu pendidikan nasional bisa terganggu, karena tujuan pemerataan kualitas tidak akan tercapai bila hanya sebagian sekolah yang mendapat kesempatan peningkatan kapasitas.
“Ini bukan hanya persoalan teknis undangan, tapi menyangkut arah politik pendidikan kita. Jika dibiarkan, pendidikan dasar dan menengah bisa terjebak dalam polarisasi ormas,” ujar Nur Khalim.
Atas dasar itu, Pemuda Aswaja mendesak Abdul Mu’ti segera membuka akses Bimtek bagi semua sekolah, mengklarifikasi isi surat undangan yang sudah terlanjur viral, dan menjamin bahwa kebijakan pendidikan tidak dipakai untuk memperkuat eksistensi salah satu organisasi. “Sekolah Muhammadiyah tentu berhak ikut, tapi sekolah NU, sekolah negeri, maupun sekolah non-ormas juga punya hak yang sama. Menteri harus ingat, posisinya melayani rakyat, bukan organisasi,” tegasnya.
Kasus ini akhirnya memperlebar perdebatan publik mengenai arah kebijakan pendidikan di bawah Menteri Abdul Mu’ti. Publik kini menunggu klarifikasi resmi dari Kemendikdasmen: apakah benar ada kebijakan diskriminatif, ataukah sekadar kesalahan administratif. Namun bagi Nur Khalim, satu hal yang paling penting tidak boleh diabaikan: “Pendidikan tidak boleh jadi alat eksklusif. Ia milik semua anak bangsa.”