Peringatan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia ke-80 di Istana Merdeka meninggalkan kesan mendalam. Untuk pertama kalinya sejak beberapa dekade terakhir, Presiden Prabowo Subianto sendiri membacakan Teks Proklamasi Kemerdekaan. Momen tersebut tidak dianggap sekadar seremoni, melainkan memiliki makna politik, historis, dan kebudayaan yang jauh lebih besar.
Ketua Umum PPJNA 98, Anto Kusumayuda, menilai langkah Prabowo itu sebagai simbol metamorfosis Soekarno–Hatta di era kontemporer. Menurutnya, gestur presiden membaca Proklamasi bukan hanya sebuah rutinitas peringatan, melainkan pernyataan tegas bahwa Indonesia hendak kembali pada akar fondasi berdirinya negara: kedaulatan politik, kemandirian ekonomi, dan kepribadian nasional.
“Di usia 80 tahun kemerdekaan, kita melihat Prabowo tampil sebagai metamorfosis Bung Karno dan Bung Hatta. Bung Karno selalu bicara imajinasi besar, nation building. Bung Hatta bicara disiplin, institution building. Hari ini, Prabowo menggabungkan keduanya,” ujar Anto, Ahad (17/8/2025).
Bagi Anto, 17 Agustus ke-80 merupakan titik balik refleksi bangsa. Delapan dekade Indonesia berdiri tidak hanya diwarnai kemenangan, tetapi juga krisis, fragmentasi, dan transformasi. Di tengah dunia yang kian kompleks—persaingan teknologi, rantai pasok global, hingga ketidakpastian pangan dan energi—Indonesia membutuhkan orientasi baru. Menurutnya, keputusan Prabowo membaca langsung teks Proklamasi adalah bentuk re-orientasi ke fondasi asli republik: menyatukan imajinasi nasional sekaligus meneguhkan arah pembangunan yang disiplin.
Anto menekankan, momentum ini adalah upaya rekonsolidasi persatuan nasional. Presiden hendak menegaskan bahwa republik tidak boleh lagi tersandera polarisasi politik, terutama pascapemilu. “Pembacaan Proklamasi oleh kepala negara adalah komando moral, pesan bahwa semua arus—politik, ormas, kampus, hingga birokrasi—harus kembali ke tujuan besar kemerdekaan,” katanya.
Dalam pandangan PPJNA 98, simbol tidak boleh berhenti di podium. Ia harus diterjemahkan menjadi agenda kerja nyata. Anto menilai, ada pesan kuat soal arah pembangunan yang disebutnya sebagai “berdikari modern.” Indonesia, kata dia, harus mengembangkan kemandirian pangan, energi, dan industri pertahanan, tetapi tetap cerdas dalam menjalin keterhubungan global. “Inilah gotong royong di era 4.0 dan 5.0, di mana kita mandiri sekaligus berjejaring,” jelasnya.
Di saat yang sama, pembacaan Proklamasi oleh presiden juga dianggap sebagai restorasi etos kepemimpinan. Menurut Anto, Prabowo ingin mengirim sinyal bahwa kepala negara tak hanya memberi komando dari jauh, melainkan berdiri di garis depan, memikul simbol dan resiko politiknya sendiri. Hal itu serupa dengan cara Bung Karno memberi arah besar, dan Bung Hatta menegakkan struktur kelembagaan; kini, Prabowo menuntut hasil nyata.
Momentum tersebut juga dimaknai sebagai mobilisasi sumber daya negara untuk mempercepat proyek strategis: dari hilirisasi berbasis keadilan, reformasi agraria yang fungsional, hingga digitalisasi pelayanan publik. Anto menyebut, simbol Proklamasi harus menjadi kompas, dan kompas itu harus diikuti dengan peta kerja yang jelas.
Anto kemudian menguraikan dimensi “metamorfosis” yang ia maksud. Dari Bung Karno, Prabowo mewarisi imajinasi kolektif—narasi besar tentang persatuan, kedaulatan, dan martabat bangsa. Dari Bung Hatta, ia menyerap disiplin kelembagaan—pentingnya tata kelola fiskal, akuntabilitas, dan penguatan institusi.
Prabowo, lanjutnya, juga mengusung semangat gotong royong ekonomi. Hilirisasi dan industrialisasi tidak boleh hanya menguntungkan segelintir kelompok, melainkan memberi ruang besar bagi koperasi, UMKM, dan kemitraan adil dengan korporasi. Dalam soal kedaulatan, fokus diarahkan pada pangan, energi, dan air—tiga sumber daya strategis yang menentukan masa depan republik.
Anto bahkan mengaitkan hal itu dengan konsep keamanan manusia (human security), yang tak hanya menyangkut pertahanan militer, tetapi juga perlindungan sosial, kesehatan, dan literasi digital. Sedangkan dalam diplomasi, ia menilai Prabowo berpotensi menghadirkan versi baru politik bebas-aktif: berdaulat namun berjejaring, dengan perjanjian dagang yang lebih menekankan transfer teknologi dan nilai tambah, bukan sekadar volume ekspor.
Meski memberikan apresiasi besar, Anto Kusumayuda menekankan bahwa semua simbol akan diuji di lapangan. Menurutnya, keberhasilan kepemimpinan Prabowo harus diukur dengan indikator konkret yang dapat dipantau publik. Ia menyebut perlunya tiga “dashboard kinerja” yang diumumkan secara berkala: dashboard harga pokok rakyat untuk memantau kestabilan pangan, dashboard produktivitas dan gaji riil untuk melihat kesejahteraan pekerja, serta dashboard investasi bernilai tambah yang memastikan transfer teknologi dan keterlibatan UMKM.
“Simbol memantik semangat, tetapi pembuktiannya ada pada turunnya harga pangan yang stabil, naiknya pendapatan riil, dan terbukanya lapangan kerja berkualitas. Itulah tolok ukur metamorfosis sejati,” tegasnya.
Anto menilai, momentum Proklamasi ke-80 bisa menjadi pijakan konsolidasi besar antara tiga arus utama: arus pemerintahan yang dituntut mempercepat eksekusi kebijakan lintas kementerian; arus politik–parlemen yang harus bersinergi melahirkan regulasi pro-produktivitas; serta arus masyarakat sipil yang perlu mengawal akuntabilitas dan inovasi lokal. Jika ketiganya berjalan seirama, maka metamorfosis Soekarno–Hatta benar-benar menjelma sebagai koalisi kerja nasional: narasi, institusi, hingga hasil nyata.
Lebih jauh, PPJNA 98 mendorong agar semangat Proklamasi diturunkan langsung ke level desa. Program stabilisasi pangan berbasis data desa, koperasi modern dengan dukungan aplikasi digital, padat karya produktif, hingga pelatihan vokasi kilat harus menyentuh rumah tangga rakyat. “Metamorfosis itu nyata bila sawah tetap produktif, pabrik berdenyut, dan anak muda punya pekerjaan bermartabat,” ujar Anto.