Pasca Amnesti dan Abolisi, Politikus PSI Serukan Pelengseran Prabowo

Langkah Presiden Prabowo Subianto memberikan amnesti kepada politisi PDIP Hasto Kristiyanto dan abolisi kepada ekonom senior Thomas Lembong terus memantik polemik di ruang publik. Namun pernyataan yang paling mengejutkan datang dari Politikus PSI, Jati Erna Sahara, yang secara terbuka menyerukan pelengseran Presiden Prabowo Subianto.

Dalam sebuah pernyataan tertulis yang beredar luas di media sosial dan dikonfirmasi oleh redaksi, Jati Erna menyebut bahwa langkah-langkah hukum yang diambil oleh Prabowo telah mengkhianati semangat reformasi dan memperlihatkan lemahnya konsistensi terhadap komitmen hukum yang pernah digaungkan saat kampanye.

“Kami menilai Presiden Prabowo telah menunjukkan sikap inkonsisten, mengintervensi proses hukum, dan memberi angin pada kelompok-kelompok yang pernah secara sistematis menyerang Presiden Jokowi. Ini bukan hanya pengkhianatan terhadap hukum, tapi juga terhadap sejarah politik itu sendiri. Bagi kami, Prabowo layak dilengserkan,” tegas Jati Erna, Selasa (5/8/2025)

Baca juga:  Sederek Ganjar: Garis Tangan Prabowo Kalah di Pilpres

PSI selama ini dikenal sebagai partai yang sangat vokal membela Presiden Indonesia ke-7 Joko Widodo (Jokowi), bahkan menjadi garda terdepan dalam menjawab kritik terhadap Jokowi di berbagai forum publik. Namun sejak berakhirnya masa jabatan Jokowi dan transisi kekuasaan kepada Prabowo, narasi politik PSI terlihat semakin kritis terhadap pemerintahan baru.

Jati Erna juga mengungkapkan bahwa Partai Gerindra, yang dipimpin langsung oleh Presiden Prabowo, tidak menunjukkan solidaritas saat Jokowi dihantam isu ijazah palsu.

“Kami tidak melihat ada pembelaan yang kuat dari Partai Gerindra. Saat Presiden Jokowi dihantam isu ijazah oleh kelompok yang sama yang kini justru diampuni Prabowo, Gerindra diam. Ini membuat kami bertanya: sebenarnya siapa yang dibela Prabowo?” ujarnya.

Baca juga:  Koalisi Indonesia Maju Bakal Rontok sebelum Berkembang

Langkah Prabowo memberikan amnesti dan abolisi dinilai sebagian kalangan sebagai taktik rekonsiliasi politik, untuk meredakan ketegangan antara kelompok pro dan anti-Jokowi. Namun di sisi lain, sejumlah analis menilai ini justru menjadi preseden buruk bagi supremasi hukum.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News