Oleh: Untung Nursetiawan, Pemerhati Sosial Kota Pekalongan
Setiap bulan Agustus, masyarakat Indonesia dihimbau untuk mengibarkan bendera Merah Putih sebagai ungkapan nasionalisme menyambut Hari Kemerdekaan. Namun, belakangan ini, muncul fenomena yang kontroversial dan unik. Tidak sedikit dari kalangan muda yang memilih untuk mengibarkan bendera bajak laut dari anime One Piece, yang dikenal dengan simbol tengkorak ber-topi jerami. Fenomena ini menimbulkan pro-kontra di masyarakat. Apakah ini sekadar kebebalan, kelucuan iseng, gaya hidup pop culture, atau bahkan sindiran keras terhadap negara?
Pertama-tama, kita harus mengakui bahwa budaya populer memiliki pengaruh besar saat ini. One Piece bukan sekadar tontonan biasa. Serial karya Eiichiro Oda ini telah mendunia dan menyampaikan nilai-nilai seperti solidaritas, perlawanan terhadap ketidakadilan, dan semangat kebebasan. Bagi sebagian anak muda, simbol bendera bajak laut topi jerami bukan hanya hiburan semata, melainkan juga bentuk identifikasi terhadap perjuangan, loyalitas antar teman, bahkan protes terhadap sistem yang dianggap tidak adil.
Namun, dalam konteks peringatan kemerdekaan Indonesia, saat pemerintah mengajak seluruh warga untuk menunjukkan semangat nasionalisme melalui bendera Merah Putih, pengibaran bendera One Piece dapat dianggap ‘sedikit’ provokatif. Meskipun tidak semua yang melakukannya bermaksud demikian, aksi ini bisa ditafsirkan sebagai bentuk sindiran halus atau bahkan keras terhadap kondisi bangsa saat ini.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Banyak dari kalangan muda merasa tidak terhubung dengan narasi nasionalisme resmi yang terasa kaku dan tidak relevan dengan realitas mereka. Mereka melihat bendera Merah Putih bukan lagi sebagai simbol perjuangan dan harapan, melainkan sebagai lambang negara yang belum mampu memenuhi janji-janji besar. Mereka merasakan sulitnya akses pendidikan, kurangnya lapangan kerja, serta korupsi yang merajalela dan ketidakadilan yang semakin terbuka. Dalam perspektif ini, pengibaran bendera bajak laut bisa menjadi ekspresi kekecewaan: sebuah protes simbolik terhadap narasi nasionalisme yang kosong dan tidak relevan lagi bagi mereka yang memilih untuk mengibarkannya.
Namun demikian, tindakan ini tetap memerlukan kritik. Mengibarkan bendera selain Merah Putih pada saat yang sakral seperti peringatan kemerdekaan Indonesia berpotensi memicu ketegangan sosial dan, dari segi hukum, dianggap tidak etis atau melanggar norma yang berlaku. Nasionalisme tidak bisa dipaksakan melalui simbol semata, tetapi mengabaikannya sama sekali bukanlah solusi yang tepat. Jika generasi muda merasa tidak terwakili oleh simbol negara, yang diperlukan bukan mengganti simbol itu, melainkan mendesak pemulihan nilai-nilai yang seharusnya diwakili oleh simbol itu.
Di sisi lain, pemerintah juga perlu merenung: mengapa ada fenomena pengibaran bendera One Piece daripada Merah Putih? Mengapa narasi kebangsaan tidak lagi menyentuh hati generasi penerus? Mengapa simbol-simbol nasional tampak kehilangan makna, kalah oleh karakter fiksi? Mungkin saatnya untuk negara memahami bagaimana budaya populer bekerja, bukan untuk diperangi, tetapi dimanfaatkan. Nasionalisme tidak selalu harus hadir dalam bentuk seremonial yang kaku. Ia bisa didefinisikan kembali melalui pendekatan yang kreatif, relevan, dan dapat diterima oleh generasi muda saat ini.
Fenomena bendera One Piece ini memang bisa dilihat dari berbagai sudut pandang: lucu, aneh, atau bahkan mengkhawatirkan. Yang jelas, ini bukan hanya tentang anime, melainkan juga tentang identitas dan rasa memiliki bangsa ini.
Jika ini merupakan sindiran, maka ini adalah sindiran yang keras dan menyakitkan: bahwa mungkin, bagi sebagian generasi muda, harapan terhadap Indonesia yang adil dan merdeka kini terasa seperti dongeng belaka.
Pemerintah sebagai pemimpin negara harus merespons tantangan ini. Bukan dengan larangan atau hukuman, tetapi dengan mendengarkan. Mungkin mereka tidak butuh teguran, melainkan keyakinan bahwa bendera Merah Putih masih merupakan simbol yang layak untuk diperjuangkan.




