Di balik gemerlap kekuasaan, tidak mudah menemukan persahabatan yang tulus. Namun, di tengah derasnya arus kepentingan, sosok Prof Paiman Raharjo hadir sebagai pengecualian. Pria yang kini menjabat sebagai Rektor University of Jakarta International ini tetap setia mendampingi sahabatnya, Presiden Indonesia ke-7 Joko Widodo (Jokowi), bukan karena kekuasaan, melainkan karena rasa hormat, nilai, dan kesetiaan yang telah terbangun sejak dua dekade silam.
Ketika redaksi suaranasional.com menyambangi ruang kerjanya, Prof Paiman menyambut hangat seperti biasa. Dengan senyum tulus, ia meminta salah satu stafnya untuk menyajikan minuman. “Mas, tolong teh atau kopi,” ucapnya pelan. Kalimat sederhana, namun sarat makna. Kata “tolong” yang ia ucapkan menunjukkan bahwa dalam dirinya masih melekat nilai-nilai kesopanan, keadaban, dan penghargaan terhadap siapa pun, tak peduli jabatannya kini setinggi langit.
Ia mempersilakan tamunya menikmati teh hangat yang disajikan. “Mari dinikmati minumannya,” ujarnya sambil tersenyum.
Di balik keramahan itu, tersimpan cerita panjang tentang persahabatan sejatinya dengan Jokowi. Persahabatan yang bukan sekadar simbol, melainkan ikatan batin yang dibangun dari kesamaan nilai, kejujuran, dan semangat pengabdian untuk rakyat.
Persahabatan itu bermula pada tahun 2005, saat Jokowi masih menjadi Wali Kota Solo. Di masa itu, belum banyak yang mengenal nama Jokowi, apalagi memprediksi ia akan menjadi Presiden Republik Indonesia. Tapi tidak demikian dengan Prof Paiman. Ia melihat dalam diri Jokowi seorang pemimpin yang bersih, pekerja keras, dan memiliki niat tulus untuk rakyat.
“Sejak awal saya percaya beliau berbeda. Ketulusannya terasa,” kenang Prof Paiman.
Saat Jokowi memutuskan maju menjadi calon Gubernur DKI Jakarta pada 2012, Prof Paiman kembali hadir sebagai sahabat, bukan sekadar pendukung. Ia turut membantu dan menjadi bagian dari perjuangan yang kelak mengubah wajah ibu kota. Ketika kemenangan itu datang, Paiman tidak menuntut apa pun. Ia tidak meminta jabatan, tidak mengejar posisi.
Perannya mungkin tak banyak diketahui publik, namun di balik layar, Prof Paiman adalah penggerak. Melalui jaringan Relawan Sedulur Jokowi yang ia rintis dan kembangkan, jutaan orang dikerahkan untuk mendukung Jokowi dalam dua kali Pilpres: 2014 dan 2019. Ia turut mengorganisir suara akar rumput, menjembatani pesan Jokowi ke masyarakat bawah, serta menggelorakan semangat perubahan.
Namun, sekali lagi, semua itu bukan demi kursi atau kekuasaan. “Saya bahagia ketika orang baik seperti Jokowi bisa menjadi presiden. Itu saja cukup,” ungkapnya lirih.
Ia pun tak segan berada di garda terdepan membela Jokowi, terutama di saat banyak yang menjauh. Ketika fitnah soal ijazah palsu mencuat dan lawan-lawan politik menyerang habis-habisan, Prof Paiman tetap berdiri teguh. “Saya tidak habis pikir, bagaimana mungkin orang seperti Jokowi yang sudah berbuat banyak difitnah seperti itu,” katanya.
Saat Orang Menjauh, Ia Mendekat
Persahabatan sejati diuji bukan saat senang, tetapi saat susah. Di masa-masa sulit ketika Jokowi berada di bawah tekanan, ketika kepercayaan publik diguncang oleh isu-isu liar, Prof Paiman tidak meninggalkannya. Ia malah mendekat. Berbicara langsung dengan Jokowi, memberi masukan, menjadi teman diskusi yang jujur dan berani.
“Ketika semua orang berebut mendekati kekuasaan, saya memilih mendekat karena rasa sayang dan hormat,” tuturnya.
Bagi Prof Paiman, Jokowi bukan hanya sahabat, tapi sosok pemimpin visioner yang membawa perubahan nyata. Jalan tol yang kini memendekkan jarak dan mempercepat arus logistik, hingga kereta cepat Jakarta-Bandung “Whoosh” yang dulu diragukan namun kini selalu penuh penumpang, adalah bukti kerja nyata Jokowi.
Dalam dunia yang makin pragmatis, figur seperti Prof Paiman menjadi langka. Ia membuktikan bahwa kesetiaan, ketulusan, dan persahabatan bisa tetap hidup di tengah hiruk-pikuk kekuasaan. Ia tak hanya mendukung, tetapi juga menjaga, membela, dan menginspirasi.
“Sahabat sejati itu bukan yang datang saat kita berkuasa, tapi yang tetap ada saat kita diserang dan dilemahkan,” ujar Prof Paiman, kalimat yang terdengar seperti refleksi sekaligus pengingat.
Dan di tengah semua itu, ia tetap rendah hati, tetap sopan meminta teh kepada stafnya, tetap menyambut tamu dengan hangat. Karena bagi Prof Paiman, kekuasaan boleh berganti, tapi nilai tidak boleh mati.
Kisah Prof Paiman dan Jokowi bukan sekadar cerita persahabatan. Ia adalah potret tentang integritas, kesetiaan, dan keberanian untuk tidak menjadi oportunis. Ini adalah pelajaran bagi siapa pun yang ingin berpolitik dengan hati, dan membangun kekuasaan di atas dasar kepercayaan, bukan kepentingan.
Dalam dunia yang serba transaksional, Prof Paiman mengajarkan bahwa kejujuran dan persahabatan sejati masih mungkin ada — jika kita memilih untuk tetap manusia.