Direktur Eksekutif INFUS (Institute for Strategy and Public Policy Studies), Gde Siriana Yusuf, menanggapi mencuatnya isu pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka sebagai refleksi krisis etika dalam sistem demokrasi Indonesia serta belum tuntasnya transisi kekuasaan dari era Presiden Joko Widodo ke era Presiden terpilih Prabowo Subianto.
“Pemakzulan ini bukan semata soal pelanggaran hukum, tetapi sinyal kuat bahwa ada kegelisahan di kalangan elite dan masyarakat sipil atas lemahnya etika publik dalam proses politik kita,” ujar Gde Siriana dalam keterangannya, Rabu (10/7).
Menurut Gde, sejak awal pencalonan Gibran telah menimbulkan kontroversi besar, utamanya karena perubahan mendadak syarat pencalonan oleh Mahkamah Konstitusi yang membuka jalan bagi Gibran untuk maju. “Putusan MK itu kemudian dinyatakan cacat secara etik oleh Majelis Kehormatan MK. Tapi tetap dijalankan. Ini preseden buruk bagi demokrasi,” tegasnya.
Ia menilai surat pemakzulan yang diajukan oleh sekelompok purnawirawan jenderal TNI ke DPR bukan hanya aksi spontan, tetapi bentuk ekspresi keresahan atas memburuknya kualitas institusi demokrasi. “Para purnawirawan itu punya sejarah panjang dalam kekuasaan. Mereka tentu membaca bahwa ada anomali serius dalam kontestasi politik dan tata negara,” ungkap Gde.
Dalam pandangan Gde Siriana, isu ini bukan semata-mata soal Gibran pribadi, melainkan lebih luas sebagai gejala politik dinasti yang kini mendapatkan pembenaran hukum melalui celah-celah manipulatif. “Ketika politik dinasti dijustifikasi dengan cara-cara manipulatif, maka rakyat mulai meragukan integritas negara,” tegasnya.
Terkait proses pemakzulan, Gde menyadari bahwa secara formal dan matematis sangat sulit dilakukan karena kekuatan koalisi besar di DPR yang mengusung Prabowo-Gibran. “Namun ini bukan hanya soal berhasil atau tidak. Isu pemakzulan bisa menjadi alat tekanan politik, alat negosiasi, bahkan kartu strategis menuju Pilpres 2029,” jelasnya.
INFUS menyoroti bahwa dalam sistem presidensial, etika dan kepercayaan publik memainkan peran penting dalam menjaga legitimasi kekuasaan. “Ketika hukum tidak lagi mampu menjawab rasa keadilan publik, maka etika seharusnya menjadi fondasi. Tapi jika dua-duanya lemah, maka demokrasi terancam berubah menjadi sekadar formalitas,” tutur Gde.
Gde Siriana juga menilai Presiden terpilih Prabowo Subianto akan menghadapi tantangan besar dalam mengelola hubungan politik dengan Gibran, terlebih jika isu ini terus digoreng oleh pihak-pihak yang ingin memecah koalisi. “Prabowo harus menakar dengan cermat: apakah Gibran akan tetap menjadi aset politik atau justru beban elektoral yang merusak stabilitas,” tandasnya.
Di akhir pernyataannya, Gde mengingatkan bahwa polemik ini seharusnya menjadi momen reflektif untuk menegakkan kembali etika politik, membangun institusi yang kredibel, dan menyudahi praktik-praktik politik elitis yang merusak demokrasi.