Aktivis NU Jakarta Minta Pramono Anung Copot Sekda Marullah Matalli, Ada Apa?

Desakan agar Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung mencopot Sekretaris Daerah (Sekda) Marullah Matali mencuat ke publik setelah dugaan praktik nepotisme diungkap oleh Koordinator Aktivis Muda Nahdlatul Ulama (NU) Jakarta, Dewa Micko. Dalam pernyataannya, Dewa menyebut Marullah telah melakukan tindakan tidak etis dan melanggar prinsip tata kelola pemerintahan bersih dengan mengangkat anak kandungnya, Muhammad Fikri Makarim atau yang dikenal dengan nama Kiky, sebagai tenaga ahli di lingkungan Pemprov DKI Jakarta.

Dugaan ini bermula dari beredarnya dokumen internal Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang menunjukkan adanya penunjukan tenaga ahli di lingkungan Sekretariat Daerah, di mana salah satunya tercantum nama Kiky, anak dari Marullah Matali. Informasi ini kemudian dikonfirmasi oleh sejumlah sumber internal yang tidak ingin disebutkan namanya, menyebut bahwa Kiky memang telah aktif menjalankan tugas sebagai tenaga ahli, meskipun tidak melalui proses seleksi terbuka yang biasanya diberlakukan.

Menurut Dewa Micko, tindakan Marullah tersebut jelas bertentangan dengan prinsip dasar birokrasi yang menjunjung meritokrasi, profesionalitas, dan transparansi. “Kami menilai ada pelanggaran serius terhadap prinsip kepegawaian negara. Penunjukan tenaga ahli tidak boleh dijadikan ruang untuk menyelundupkan kepentingan keluarga, apalagi dilakukan oleh pejabat struktural setingkat Sekda,” ujar Dewa dalam keterangannya kepada media, Senin (7/7).

Selain aspek hukum dan regulasi, persoalan ini juga menyinggung persoalan moral dan etika pejabat publik. Seorang Sekda memiliki tanggung jawab sebagai pejabat karier tertinggi di pemerintahan daerah yang wajib menjadi teladan, bukan hanya dalam hal kinerja administratif, tetapi juga dalam menjaga nilai-nilai integritas.

“Etika publik mengharuskan pejabat publik menjauhkan diri dari konflik kepentingan, apalagi dalam urusan penempatan posisi strategis seperti tenaga ahli,” kata Micko. Ia menambahkan bahwa kasus semacam ini bisa menjadi preseden buruk bagi generasi birokrat muda jika tidak ditangani dengan tegas.

Penempatan anak kandung dalam jabatan non-struktural seperti tenaga ahli memang secara hukum berada di wilayah abu-abu, namun secara politik dan etika, praktik ini sangat rentan dituding sebagai nepotisme. Dalam konteks Jakarta yang menjadi pusat perhatian nasional, setiap tindakan pejabat tinggi memiliki dampak simbolik yang besar.

Ia menjelaskan bahwa Gubernur Pramono Anung saat ini menghadapi tantangan besar dalam memulihkan kepercayaan publik terhadap netralitas birokrasi. “Jika isu ini dibiarkan tanpa respon tegas, maka akan terbentuk opini bahwa Pemprov DKI Jakarta mentoleransi praktik nepotisme. Ini bertentangan dengan semangat reformasi birokrasi,” ujarnya.

Micko menekankan bahwa tindakan Gubernur sangat menentukan arah politik birokrasi ke depan. Pramono, yang baru menjabat beberapa bulan setelah transisi kekuasaan nasional, memiliki kesempatan untuk membuktikan bahwa dirinya berkomitmen terhadap pemerintahan bersih dan bebas konflik kepentingan.

Di sisi lain, sejumlah anggota DPRD DKI Jakarta dikabarkan mulai mempertanyakan integritas Sekda dan meminta klarifikasi melalui mekanisme pengawasan.

Desakan yang disampaikan aktivis NU Jakarta tidak sekadar simbolik. Mereka menuntut Gubernur Pramono Anung mengambil langkah nyata: mencopot Marullah Matali dari jabatan Sekda serta mengevaluasi seluruh pengangkatan tenaga ahli di lingkup Pemprov DKI. Evaluasi menyeluruh dinilai penting untuk memastikan tidak ada penyalahgunaan wewenang yang berulang.

“Ini bukan hanya soal satu jabatan. Ini tentang bagaimana wajah birokrasi Jakarta ke depan. Bersih atau tidak, profesional atau tetap penuh intrik keluarga,” kata Dewa Micko.

Skandal ini menjadi ujian awal bagi Gubernur Pramono Anung, yang dikenal publik sebagai figur teknokrat dan mantan Sekretaris Kabinet. Publik menunggu apakah gaya kepemimpinan teknokratis itu akan diwujudkan dalam penegakan etika dan aturan main birokrasi.

Jika Pramono bersikap tegas dan mencopot Marullah Matali, itu akan menjadi sinyal kuat bahwa Pemprov DKI memasuki era baru: era pemerintahan meritokratis yang jauh dari praktik nepotisme dan konflik kepentingan.

Namun, jika ia memilih jalan kompromi, maka publik akan mencatatnya sebagai bentuk pembiaran terhadap keroposnya nilai-nilai integritas birokrasi ibu kota.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News