Dasco dan Perjuangan Nasib Ojol: Menjembatani Kepentingan Rakyat, Negara, dan Pasar

Oleh: Rokhmat Widodo, Pengamat Politik

Di tengah hiruk-pikuk politik nasional, nama Sufmi Dasco Ahmad kembali mencuat bukan sekadar karena posisinya sebagai Ketua Harian DPP Gerindra atau Wakil Ketua DPR RI, tetapi karena satu langkah simpatiknya: memanggil Adian Napitupulu, politikus PDIP, untuk duduk bersama membahas nasib para pengemudi ojek online (ojol).

Sekilas, pertemuan dua figur ini terlihat seperti hal biasa. Namun jika ditelisik lebih dalam, ada yang menarik. Pertama, Dasco menggerakkan lintas partai, menunjukkan bahwa isu ojol bukan sekadar isu sektoral atau partisan, melainkan persoalan sosial yang menyentuh jantung kehidupan urban Indonesia. Kedua, ia memahami betul bahwa regulasi bukan sekadar teks normatif, melainkan instrumen politik yang dapat mewujudkan visi-misi presiden terpilih Prabowo Subianto, yaitu keberpihakan pada rakyat kecil.

Sufmi Dasco Ahmad selama ini dikenal sebagai salah satu politisi yang lihai memainkan peran di belakang layar. Ia bukan tipe politisi yang sering berorasi di depan massa, tetapi lebih senang menenun jaringan, menyusun langkah strategis, dan menyelesaikan masalah lewat jalur formal dan informal.

Dalam isu ojol, Dasco menunjukkan kapasitasnya sebagai political broker — jembatan antara rakyat (ojol), negara (pembuat kebijakan), dan pasar (aplikator seperti Gojek, Grab, Maxim). Dengan mendorong Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) antara DPR, aplikator, dan pengemudi ojol, Dasco memahami bahwa akar masalah tidak akan selesai hanya dengan retorika. Dibutuhkan ruang dialog yang diakui secara hukum, agar semua kepentingan bisa terakomodasi.

Langkah ini juga mencerminkan kemampuan Dasco menerjemahkan visi-misi Prabowo: “Indonesia Maju, Rakyat Sejahtera.” Selama kampanye, Prabowo berulang kali menyebut pentingnya keberpihakan kepada rakyat kecil, pekerja informal, dan sektor-sektor yang menopang ekonomi harian. Ojol adalah simbol dari sektor itu: fleksibel, digital, tetapi rentan.

Baca juga:  Dasco: Belum Ada Informasi Utusan PDIP untuk Pertemuan Mega-Prabowo

Kenapa isu ojol begitu penting? Ada beberapa alasan. Pertama, secara jumlah, pengemudi ojol sudah mencapai jutaan orang di seluruh Indonesia. Mereka adalah tulang punggung transportasi perkotaan, logistik mikro, dan bahkan ekonomi keluarga. Kedua, status kerja mereka yang ambigu — bukan karyawan, bukan sepenuhnya mitra — membuat mereka rawan tidak mendapatkan perlindungan sosial. Ketiga, kekuatan aplikator sebagai tech giant sering kali membuat posisi tawar pengemudi lemah.

Selama ini, berbagai upaya pemerintah mengatur ojol selalu berbenturan dengan kepentingan bisnis. Tarif, bonus, sistem suspend, hingga pembagian hasil adalah persoalan pelik yang membutuhkan pendekatan lintas sektor. Di sinilah peran DPR menjadi penting. Dasco, sebagai pimpinan DPR, memanfaatkan fungsi legislatif untuk membuka kanal komunikasi, bukan hanya menjadi penonton.

Ada yang lebih dalam dari sekadar isu ojol. Langkah Dasco ini juga patut dibaca sebagai strategi politik Gerindra dalam mengokohkan citra partai rakyat. Setelah berhasil memenangkan Pilpres bersama Prabowo, Gerindra harus memastikan bahwa janji-janji kampanye tidak berhenti di slogan. Mereka butuh pembuktian konkret di lapangan. Ojol adalah salah satu isu “cepat saji” yang bisa diolah menjadi bukti keberpihakan.

Sebagai Ketua Harian DPP Gerindra, Dasco paham bahwa keberhasilan partai tidak hanya bergantung pada kekuasaan eksekutif, tetapi juga pada kemampuan legislatif menciptakan regulasi yang pro-rakyat. Dengan menggandeng Adian Napitupulu, Dasco menunjukkan sikap inklusif. Ini bukan hanya soal koalisi politik, tapi soal koalisi moral demi kepentingan rakyat.

Baca juga:  Beathor Suryadi Desak Dasco Tarik TNI-Polri dari DPR: Kembalikan Gedung Parlemen Jadi Rumah Rakyat

Selain itu, langkah ini juga mempertegas posisi Dasco sebagai salah satu kingmaker di Gerindra. Dalam konteks 2029, ketika Gerindra harus mempersiapkan regenerasi kepemimpinan, figur seperti Dasco akan memainkan peran strategis.

Namun, perlu diingat: RDPU bukanlah akhir, melainkan awal. Tantangan terbesar adalah bagaimana hasil pertemuan ini diterjemahkan menjadi kebijakan konkret. Beberapa langkah penting yang harus diambil, antara lain:

-Revisi peraturan terkait status kerja pengemudi ojol. Apakah mereka tetap dianggap mitra atau diakui sebagai pekerja dengan perlindungan tertentu?

-Penetapan tarif minimal yang adil. Agar pengemudi tidak sekadar menjadi korban kompetisi harga di antara aplikator.

-Penguatan peran pemerintah sebagai wasit. Jangan biarkan pasar sepenuhnya menentukan nasib jutaan pekerja informal ini.

Perjuangan nasib ojol bukan semata-mata soal ojek online. Ini adalah cerminan pertarungan besar antara kepentingan rakyat, negara, dan pasar di era digital. Sufmi Dasco Ahmad, dengan langkahnya mengajak Adian Napitupulu dan mendorong RDPU, menunjukkan kapasitas politik yang tidak sekadar pragmatis, tetapi juga strategis.

Ke depan, tantangan semakin besar. Dasco harus memastikan bahwa DPR bukan hanya menjadi tempat rapat, tetapi juga rumah bagi aspirasi rakyat kecil. Jika ini berhasil, bukan hanya nasib ojol yang akan lebih baik, tetapi juga citra politik Indonesia yang lebih inklusif dan berkeadilan.

Dan satu hal penting: keberhasilan Dasco dalam isu ini bisa menjadi batu loncatan besar, bukan hanya bagi karier politiknya, tetapi juga bagi Gerindra, dan tentu saja, bagi Prabowo, yang kini punya janji besar pada rakyat.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News