Terbongkar, Ini Skenario Penyelamatan Aguan Cs dalam Kasus Pagar Laut di Tangerang

Episode baru dari drama panjang kasus pagar laut di utara Tangerang kembali ditayangkan. Kali ini, giliran Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri yang memainkan perannya, dengan menyatakan bahwa tak ditemukan unsur tindak pidana korupsi dalam perkara pemalsuan dokumen Hak Guna Bangunan (HGB) di Desa Kohod.

Pernyataan itu disampaikan kepada publik setelah Kejaksaan Agung sebelumnya memutuskan mundur dari penyelidikan kasus pagar laut yang diduga terkait proyek reklamasi raksasa PIK-2. “Jika ada unsur korupsi, biar Bareskrim yang menyelidiki,” kata pejabat Kejaksaan Agung, Maret lalu.

Kini, setelah penyidik Polri menyatakan tidak ada korupsi, perkara seolah selesai. Satu babak dari sinetron hukum selesai dipentaskan: aktor utamanya bukan oligarki pemilik modal, melainkan seorang kepala desa.

“Arsin, Kepala Desa Kohod, dijadikan tumpuan tanggung jawab hukum. Padahal, pagar laut itu membentang lebih dari 30 kilometer, melintasi 16 desa dan 6 kecamatan di Kabupaten Tangerang, serta satu kecamatan di Serang,” kata Ahmad Khozinudin, advokat yang sejak awal mengadvokasi kasus ini kepada www.suaranasional.com, Sabtu (12/4/2025)

Menurut Khozinudin, pengusutan hukum sengaja dilokalisir di Desa Kohod. Dari sekian banyak wilayah yang terdampak pagar laut, hanya satu desa yang diproses. “Seolah-olah, hukum bekerja. Padahal ini pengalihan perhatian publik,” katanya.

Khozinudin mencatat ada 263 SHGB dan 17 SHM yang telah terbit di wilayah laut Desa Kohod. Namun yang menjadi sorotan bukanlah skema besar di balik penerbitan sertifikat laut, melainkan dokumen-dokumen teknis pemalsuan yang melibatkan aparat desa.

Ada tiga narasi besar yang menurut TA-MOR-PTR sengaja dipelihara untuk menutupi skandal ini:

Pertama, pencabutan pagar laut disebut telah tuntas. Faktanya, pagar masih berdiri kokoh di sejumlah desa seperti Lontar, Patramanggala, Mauk Barat, dan Muncung. Ahmad menyebutnya “kebohongan kasat mata”.

“Kedua, Arsin dkk disebut pelaku utama. Padahal, menurut pengakuan warga dan data lapangan, pagar laut dibangun oleh mandor bernama Memet, dibiayai oleh Eng Cun alias Gojali, dan diawasi langsung oleh Ali Hanafiah Lijaya — orang kepercayaan Aguan,” ungkapnya.

Ketiga, pagar laut disebut tak terkait Agung Sedayu Group. Padahal, dua anak usaha ASG — PT Intan Agung Makmur dan PT Cahaya Inti Sentosa — telah terbukti memiliki SHGB di area pagar laut.

“Sulit dipercaya pagar laut tidak ada kaitannya dengan PIK-2, sementara ASG mengantongi sertifikat tanah di lokasi itu,” kata Ahmad.

Pernyataan Bareskrim bahwa “tidak ada kerugian negara karena belum ada audit BPK” dianggap tak berdasar. Ahmad menilai, jika laut negara telah berubah menjadi properti yang bersertifikat dan diperdagangkan, maka kerugian negara bersifat nyata.

“Penyidik bisa saja meminta audit investigatif dari BPK. Hitung total luas laut yang diklaim, dikalikan NJOP, itu angka kerugiannya. Tapi memang tidak ada kehendak untuk membongkar kejahatan ini,” katanya.

Bagi Khozinudin, kasus ini memperlihatkan betapa negara sudah kehilangan kedaulatannya atas tanah dan lautnya sendiri. “Negara hanya jadi penonton, aparat jadi pemeran figuran,” ujarnya.

Ia menyebut mendapat informasi bahwa para oligark, termasuk Aguan, bahkan memandang kekuasaan negara tak lebih dari topeng monyet — tokoh hiburan yang menari sesuai irama gendang mereka.

“Kalau pagar laut yang kasat mata saja bisa dibohongi, apalagi sertifikat laut? Apalagi korupsinya?” katanya retoris.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News