Oleh: Rokhmat Widodo, pengamat politik dan kader Muhammadiyah Kudus
Kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke Turki bukan hanya kunjungan kenegaraan biasa. Dalam pernyataannya, ia menyinggung jejak sejarah dukungan Kekaisaran Ottoman terhadap para sultan dan pejuang kemerdekaan Indonesia sebagai bentuk solidaritas awal terhadap perjuangan bangsa Indonesia melawan kolonialisme. Pernyataan ini bukan hanya sebuah gestur diplomatik, tapi sekaligus membuka ruang untuk perenungan yang lebih dalam tentang bagaimana sejarah bersama dapat menjadi fondasi relasi strategis di masa kini.
Selama berabad-abad, dunia Melayu yang mencakup wilayah Indonesia tidak berada dalam isolasi, melainkan terhubung erat dengan dunia Islam yang lebih luas. Kekaisaran Ottoman sebagai khalifah dunia Islam memiliki hubungan spiritual, politik, dan simbolik dengan para penguasa Islam di Nusantara.
Beberapa sejarawan, seperti Azyumardi Azra, mencatat bahwa ulama-ulama Melayu seperti Syekh Yusuf al-Maqassari memiliki kedekatan dengan jaringan ulama yang berada di bawah bayang kekhalifahan Ottoman. Bahkan ada bukti-bukti yang menunjukkan bahwa beberapa sultan di Nusantara menjalin hubungan korespondensi atau simbolik dengan Istanbul. Salah satu jejak historis yang menarik adalah penggunaan gelar-gelar kehormatan yang disematkan oleh Ottoman kepada sultan-sultan di Aceh atau kesultanan lain sebagai bentuk pengakuan politik dan religius.
Selain itu, dalam fase menjelang kemerdekaan Indonesia, tokoh-tokoh pergerakan Islam seperti Ahmad Dahlan dan Haji Agus Salim dikenal memiliki perhatian besar terhadap nasib Kekhalifahan Ottoman. Kehilangan Ottoman akibat Perang Dunia I dan kemudian penghapusan kekhalifahan oleh Mustafa Kemal Atatürk menjadi isu besar yang mengguncang kesadaran dunia Islam saat itu, termasuk di Indonesia. Ini menunjukkan bagaimana Ottoman bukan sekadar entitas asing, tapi dianggap sebagai pusat kepemimpinan umat Islam yang dirindukan dan dihormati.
Prabowo menyebut adanya bantuan Ottoman dalam bentuk senjata dan penasihat kepada pejuang Indonesia. Dalam konteks hubungan Islam transnasional pada awal abad ke-20, sangat masuk akal bahwa solidaritas moral dan bahkan logistik bisa saja terjadi—baik secara langsung dari kekhalifahan, maupun melalui jejaring relijius dan dagang yang terhubung dengan Ottoman. Hal ini menandakan bahwa perjuangan kemerdekaan Indonesia sejak awal telah mendapat dukungan dari dunia luar, dan tidak berdiri sendiri. Di sisi lain, bisa juga dukungan ini lebih bersifat simbolik—namun tetap penting. Imaji tentang solidaritas Ottoman menjadi bagian dari konstruksi identitas Islam anti-kolonial di Indonesia. Imaji ini kemudian diwariskan melalui cerita, narasi sejarah lisan, dan solidaritas umat yang membentuk cara berpikir para pejuang kemerdekaan Indonesia, khususnya dari kalangan Islam.
Pernyataan Prabowo yang membangkitkan kembali semangat Ottoman patut dibaca dalam konteks politik luar negeri dan domestik Indonesia hari ini. Prabowo, sebagai presiden baru Indonesia, tampaknya ingin memberikan sinyal bahwa hubungan Indonesia-Turki bukan hanya soal kepentingan geopolitik pragmatis (dagang, pertahanan, investasi), tetapi juga dilandaskan pada “kekerabatan peradaban”.
Ini mencerminkan sebuah gaya diplomasi identitas: memperkuat hubungan luar negeri melalui narasi sejarah dan spiritualitas bersama. Bagi Turki yang di bawah Presiden Recep Tayyip Erdoğan telah lama berusaha membangkitkan kembali warisan Ottoman dalam politik luar negerinya (neo-Ottomanism), pendekatan ini bisa sangat resonan. Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia adalah mitra simbolik sekaligus strategis.
Dalam jangka panjang, penguatan narasi sejarah ini bisa menjadi kekuatan lunak (soft power) yang sangat berpengaruh. Hal ini dapat memperkuat kerja sama militer dan pertahanan (seperti yang sudah mulai terjadi lewat kerja sama industri alutsista), kerja sama pendidikan Islam modern, serta memperluas jangkauan ekonomi Turki di Asia Tenggara. Di sisi Indonesia, posisi sebagai bagian dari jaringan Islam global dapat meningkatkan diplomasi publik dan memperluas pengaruh di dunia Muslim.
Namun, ada bahaya yang perlu diwaspadai: sejarah bukan hanya kisah pahlawan dan bantuan. Ketika sejarah direduksi menjadi narasi tunggal tentang bantuan dan solidaritas, kita bisa terjebak dalam romantisasi yang mengabaikan kompleksitas.
Pertama, Kekaisaran Ottoman adalah entitas yang sangat besar dan tidak sepenuhnya memiliki kepentingan terhadap kawasan Asia Tenggara. Hubungan yang tercipta lebih sering bersifat sporadis dan dipengaruhi oleh dinamika internal maupun eksternal kekhalifahan. Kedua, meskipun ada relasi simbolik dan spiritual, perjuangan kemerdekaan Indonesia tetap bertumpu pada kekuatan lokal, baik nasionalis maupun Islamis.
Ketiga, dalam politik modern, romantisme sejarah bisa berujung pada legitimasi semu. Ketika hubungan diplomatik dibangun hanya atas dasar nostalgia, tanpa fondasi ekonomi, budaya, dan sosial yang kuat, maka relasi tersebut rawan menjadi simbolik belaka.
Apa yang dilakukan Prabowo dengan menghidupkan kembali semangat Ottoman dalam hubungan Indonesia–Turki bukan hanya strategi diplomasi simbolik, tetapi juga upaya membangun narasi baru tentang posisi Indonesia dalam peta dunia Muslim dan global.
Jika diarahkan dengan tepat, narasi ini bisa memperluas spektrum hubungan bilateral: dari militer ke budaya, dari spiritual ke ekonomi, dari sejarah ke masa depan. Namun hal itu hanya mungkin jika narasi sejarah ini tidak berhenti pada seremoni dan pernyataan, melainkan diwujudkan dalam kerja nyata, seperti pertukaran pelajar, riset bersama sejarah Islam global, serta kerja sama konkret dalam kemandirian pertahanan dan teknologi.
Semangat Ottoman bukan sekadar nostalgia masa lalu, tetapi bisa menjadi inspirasi untuk membangun masa depan yang lebih berdaulat, mandiri, dan bermartabat dalam hubungan antarbangsa. Dalam semangat itu, Indonesia dan Turki bisa melangkah bersama sebagai mitra strategis yang bukan hanya kuat, tetapi juga bermakna.