Dukung Pernyataan Prabowo, SIAGA 98 Tegaskan Pentingnya Pemulihan Aset Tanpa Lukai Hak Keluarga

Organisasi Simpul Aktivis Angkatan 98 (SIAGA 98) menyampaikan dukungan penuh terhadap pernyataan Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, terkait kebijakan penyitaan aset hasil tindak pidana korupsi dan pentingnya memperhatikan keadilan bagi keluarga terpidana, khususnya anak dan istri. Pernyataan ini disampaikan oleh Presiden Prabowo dalam wawancara eksklusif bersama enam pemimpin redaksi media nasional yang digelar di Hambalang, Minggu (6/4).

Dalam kesempatan tersebut, Presiden Prabowo menegaskan dua hal penting. Pertama, bahwa aset hasil tindak pidana korupsi memang layak disita untuk mengembalikan kerugian negara. Kedua, bahwa keadilan tetap harus ditegakkan, terutama terhadap anggota keluarga yang tidak terlibat atau memperoleh aset sebelum terjadinya tindak pidana.

“Kerugian negara yang dia timbulkan, ya harus dikembalikan. Makanya aset-aset pantas kalau negara itu menyita,” tegas Presiden Prabowo. “Tapi kita juga harus adil kepada anak istrinya. Nah, kalau ada aset yang sudah milik dia sebelum dia menjabat, umpamanya, ya nanti para ahli hukum suruh bahas apakah adil anaknya menderita juga?” tambahnya.

Pernyataan tersebut dinilai oleh SIAGA 98 sebagai bentuk komitmen Presiden Prabowo terhadap penegakan hukum yang tidak hanya berorientasi pada efek jera, tetapi juga menjunjung tinggi asas keadilan substantif. Koordinator SIAGA 98 sekaligus pendiri LBH Padjajaran, Hasanuddin, menyatakan, pendekatan ini selaras dengan prinsip-prinsip negara hukum dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.

SIAGA 98 menjelaskan bahwa tindakan penyitaan dan perampasan aset hasil tindak pidana korupsi memiliki dasar hukum kuat dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Khususnya dalam Pasal 18 ayat 1 huruf a, disebutkan secara tegas bahwa perampasan terhadap aset yang diperoleh dari tindak pidana korupsi merupakan pidana tambahan yang sah.

Namun, menurut SIAGA 98, implementasi dari pidana tambahan perampasan aset masih jarang ditemukan dalam praktik penegakan hukum. Banyak jaksa dalam dakwaan dan tuntutan tidak memasukkan komponen ini, sehingga hakim pun tidak menjatuhkan putusan perampasan aset. Sebagai akibatnya, proses pemulihan kerugian negara bergantung sepenuhnya pada pidana tambahan berupa uang pengganti (UP), sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat 1 huruf b.

Penyitaan aset dalam konteks ini, menurut SIAGA 98, seringkali hanya bersifat sementara dan ditujukan untuk menjamin pelaksanaan pembayaran UP, bukan sebagai bagian dari perampasan permanen terhadap aset hasil kejahatan.

“Di sini kami sengaja membedakan istilah penyitaan dan perampasan aset, karena keduanya memiliki konsekuensi hukum yang berbeda. Perampasan aset sebagai pidana tambahan hanya sah jika masuk dalam dakwaan, dituntut, dan diputuskan oleh hakim. Jika tidak, maka yang berlaku hanya penyitaan untuk kepentingan UP,” jelas Hasanuddin kepada redaksi www.suaranasional.com, Kamis (10/4/2025)

SIAGA 98 juga menekankan pentingnya keberpihakan terhadap hukum dalam proses ini, termasuk mengacu pada Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 5 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Pidana Tambahan Uang Pengganti dalam Tindak Pidana Korupsi.

Isu keadilan terhadap keluarga terpidana menjadi bagian yang tak kalah penting dalam pernyataan Presiden Prabowo. SIAGA 98 menilai bahwa pengambilan aset yang diperoleh secara sah oleh anak atau istri sebelum sang terpidana menjabat harus mendapat perlindungan hukum.

“Ukuran keadilan dalam pernyataan Presiden sangat jelas, yakni berkaitan dengan tempus atau waktu perolehan aset. Jika aset tersebut diperoleh sebelum yang bersangkutan menjabat, maka tidak dapat serta-merta dirampas. Hal ini tidak hanya adil, tetapi juga sesuai dengan prinsip-prinsip hukum pidana dan hukum perdata,” kata Hasanuddin.

Hal ini juga ditegaskan dalam Pasal 19 UU Tipikor yang menyatakan bahwa pengadilan tidak dapat menjatuhkan perampasan terhadap barang milik pihak ketiga yang beritikad baik. Bahkan, jika sampai terjadi, pihak ketiga tersebut berhak mengajukan keberatan kepada pengadilan dalam jangka waktu dua bulan setelah putusan dijatuhkan.

SIAGA 98 mengingatkan bahwa hukum tidak mengenal istilah “pemiskinan koruptor”. Istilah ini, jika dipahami dan diterapkan secara keliru, justru dapat berujung pada pelanggaran hukum baru, karena menyasar harta yang bukan hasil kejahatan atau bukan milik terpidana secara langsung.

“Kita tidak bisa menyamaratakan bahwa semua aset yang ada di lingkungan keluarga koruptor adalah hasil kejahatan. Prinsip hukum mengharuskan kita membuktikan asal-usul harta tersebut secara adil,” lanjutnya.

SIAGA 98 menilai bahwa pernyataan Presiden Prabowo merupakan angin segar dalam upaya reformasi penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi di Indonesia. Organisasi ini mendorong agar pidana tambahan perampasan aset benar-benar dijalankan secara konsisten, bukan sekadar bergantung pada pidana tambahan uang pengganti.

Namun demikian, semua pelaksanaan kebijakan ini harus tetap berada dalam koridor hukum yang menjunjung asas kepastian hukum, penghormatan terhadap hak milik yang sah, dan perlindungan terhadap pihak ketiga yang tidak terlibat dalam tindak pidana.

“Reformasi hukum tidak boleh dilaksanakan dengan pendekatan yang sewenang-wenang. Kita harus memastikan bahwa dalam memberantas korupsi, kita juga tidak mengorbankan prinsip-prinsip keadilan dan hak asasi manusia. Dalam semangat inilah kami memandang pernyataan Presiden Prabowo Subianto,” tutup Hasanuddin.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News