Titik Awal Gerakan Besar: Ulama dan Tokoh Banten Bersatu dengan Aktivis Jakarta Tolak Proyek PIK 2

5 April 2025 menjadi tanggal penting pasca Idul Fitri 1446 H, ketika puluhan tokoh dari berbagai latar belakang berkumpul dalam sebuah forum strategis di Palka, Serang, Banten. Pertemuan ini mempertemukan ulama, akademisi, dan tokoh masyarakat Banten dengan sejumlah aktivis nasional dari Jakarta dalam sebuah inisiatif yang digambarkan sebagai “titik awal menuju gerakan besar” dalam melawan proyek Pantai Indah Kapuk 2 (PIK2) yang kontroversial.

Pertemuan ini dihadiri oleh sejumlah tokoh penting dari Banten seperti H. Embay Mulya Syarief, Dr. Sahrawi, H. Makmun Muzakki, dan H. Muhhsinin, M.Si. Dari pihak Jakarta hadir aktivis-aktivis senior yang dikenal vokal dalam isu lingkungan dan kedaulatan negara seperti Ahmad Khozinudin, Dr. Marwan Batubara, dan Mayjen TNI (Purn) Soenarko. Kehadiran mereka menjadi penanda bahwa isu PIK2 bukan lagi persoalan lokal, melainkan telah menjadi isu strategis nasional.

Menurut Kurtubi, inisiator dan pengamat dari Forum Ulama, Akademisi, dan Tokoh Banten, pertemuan ini menghasilkan konsensus penting: akan ada gerakan besar yang melibatkan kekuatan sipil dari Banten dan Jakarta. Gerakan ini akan diwujudkan dalam bentuk aksi massa ke pusat-pusat pertahanan proyek PIK2 di kawasan pesisir Tangerang Utara.

“Aksi ini bukan sekadar unjuk rasa biasa. Ini adalah bentuk penolakan rakyat terhadap proyek yang secara nyata melanggar hukum dan mengancam kedaulatan wilayah pesisir,” ujar Kurtubi kepada redaksi www.suaranasional.com, Rabu (9/4/2025).

Proyek PIK2 dianggap telah mengabaikan aspek hukum, lingkungan, dan sosial. Selain masalah reklamasi yang mengganggu ekosistem laut dan pesisir, proyek ini juga dituding melakukan penyerobotan lahan milik warga, termasuk tanah-tanah adat dan lahan pertanian produktif di wilayah utara Banten.

Salah satu poin kritik tajam yang muncul dalam pertemuan ini adalah sikap pasif pemerintah daerah. Dari tingkat Kabupaten Tangerang hingga Pemerintah Provinsi Banten, menurut para peserta pertemuan, tidak ada tindakan nyata dalam menghadapi pelanggaran-pelanggaran proyek PIK2.

“Pemda seolah-olah diam, padahal mereka punya wewenang administratif dan moral untuk membela rakyatnya. Ini bukan hanya soal investasi, tapi soal kedaulatan dan keadilan sosial,” ujar H. Makmun Muzakki dalam diskusi tersebut.

Sikap ini menimbulkan pertanyaan besar di tengah masyarakat: apakah pemerintah daerah sudah kehilangan kendali terhadap proyek-proyek besar yang masuk melalui jalur oligarki dan kekuatan modal?

Lebih jauh lagi, pertemuan ini juga menghasilkan seruan moral kepada Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto. Sebagai kepala negara, Prabowo diminta menunjukkan keberpihakannya terhadap rakyat dengan menghentikan proyek PIK2 dan meninjau ulang seluruh izin yang telah dikeluarkan.

“Presiden tidak bisa lagi diam. Beliau harus bersikap. Ini bukan hanya tentang pelanggaran administratif, tapi tentang pelanggaran terhadap rakyat yang selama ini diam dan terpinggirkan,” kata Ahmad Khozinudin, salah satu aktivis yang hadir.

Kurtubi menegaskan bahwa proyek PIK2 merupakan simbol dari bagaimana pembangunan dijalankan tanpa memperhatikan keberlanjutan lingkungan dan hak-hak masyarakat lokal. Ia menyebut proyek ini sebagai “kolonialisme gaya baru di atas tanah rakyat sendiri.”

Pertemuan 5 April di Palka bukanlah akhir, melainkan awal dari rangkaian konsolidasi yang lebih luas. Dalam waktu dekat, forum ini akan membentuk sekretariat bersama untuk mengoordinasikan aksi-aksi lanjutan, termasuk advokasi hukum, edukasi publik, dan gerakan sosial yang lebih masif.

Kurtubi menyatakan bahwa perlawanan terhadap PIK2 adalah bagian dari perjuangan panjang membela tanah, air, dan ruang hidup rakyat. “Ini bukan hanya soal proyek. Ini tentang arah pembangunan bangsa. Apakah kita memilih berpihak kepada rakyat atau kepada oligarki?”

Simak berita dan artikel lainnya di Google News