Pertemuan antara Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri dan Presiden terpilih Prabowo Subianto akhirnya terlaksana di kediaman Megawati di Jalan Teuku Umar, Jakarta, setelah menjadi topik spekulasi panjang di tengah dinamika politik pasca Pilpres 2024. Direktur Lingkar Madani (LIMA), Ray Rangkuti, menilai bahwa pertemuan tersebut bukan hanya menjadi simbol penting dalam rekonsiliasi politik nasional, tetapi juga menunjukkan kelas dan kepiawaian Megawati dalam memainkan strategi politik tingkat tinggi.
Ray menyebut, pertemuan itu menggambarkan betapa terujinya kematangan dan kelihaian Megawati dalam membaca serta mengendalikan arah politik. “Semua skenario yang berjalan di luar prediksi publik menandakan bahwa Megawati masih menjadi pemain inti dalam panggung politik Indonesia,” ujar Ray kepada wartawan, Rabu (9/4/2025)
Pertemuan tersebut, menurut Ray, dilakukan dengan gaya yang sangat berbeda dibanding enam tahun lalu ketika Megawati dan Prabowo juga bertemu di tempat yang sama, yang kala itu dilakukan secara terbuka—bahkan disertai makan siang bersama. Kini, pertemuan dilakukan secara tertutup, tanpa liputan langsung media, menyiratkan pesan bahwa Megawati menempatkan pertemuan itu sebagai pertemuan biasa.
“Bagi Ibu Mega, pertemuan itu sekelas saja dengan pertemuan-pertemuan politik lainnya. Tidak perlu dibesar-besarkan. Nilainya setara dengan pertemuan dengan tokoh-tokoh lain,” jelas Ray.
Ray juga menyoroti simbolisme kuat dari lokasi pertemuan yang tidak dilakukan di Istana Negara, melainkan di rumah Megawati. “Itu menegaskan bahwa Ibu Mega bukan pihak yang datang untuk ‘menghadap’. Justru Prabowo yang datang ke Teuku Umar, menunjukkan bahwa Megawati tetap menjadi tokoh yang disegani bahkan oleh presiden terpilih,” lanjutnya.
Konteks ini semakin relevan bila dibandingkan dengan elite partai lain yang justru memilih masuk ke dalam kabinet Prabowo, yang secara langsung menempatkan diri mereka sebagai pembantu presiden. Sementara Megawati mempertahankan marwah dan posisi sebagai pemimpin partai besar pemenang pemilu.
Menurut Ray, pertemuan tersebut juga menjadi sinyal bagi para aktor politik lain—termasuk koalisi pendukung Prabowo—bahwa kekuatan PDIP tetap solid dan berpengaruh. “Pak Prabowo sadar, jika ingin membangun pemerintahan yang kuat dan stabil, tidak bisa mengandalkan koalisinya yang ada sekarang. Mengandalkan kedekatan dengan Jokowi tidak serta merta memperbesar kekuatan politiknya,” ucap Ray.
Jika pada akhirnya PDIP memilih berada di luar pemerintahan, posisi mereka sebagai oposisi tetap akan memiliki kekuatan. Dan itu pun, menurut Ray, akan menjadi oposisi yang moderat dan konstruktif, bukan oposisi keras yang menyulitkan jalannya pemerintahan.
Ray memberi skor 70:30 dalam pertemuan tersebut—keuntungan lebih besar bagi Megawati. Beberapa alasan di balik penilaian itu adalah: Pertama, pertemuan ini menunaikan keinginan dari satu faksi penting di internal PDIP, yakni faksi Puan Maharani.
“Kedua, Prabowo yang datang ke Teuku Umar, bukan sebaliknya, yang mempertegas posisi tawar Megawati,” tegasnya.
Ketiga, Megawati tetap menjaga komunikasi dengan kekuatan oposisi agar relasi tetap terpelihara, sekaligus mencegah kesan bahwa PDIP ‘melompat pagar’ demi kekuasaan.
“Keempat, Megawati mempertahankan martabatnya sebagai ketua partai pemenang pemilu, yang konsisten dalam garis politiknya dan tidak mudah tergoda oleh kekuasaan instan,” pungkasnya.