Membaca Pertemuan Prabowo-Megawati

Oleh: Rokhmat Widodo, pengamat politik dan kader Muhammadiyah Kudus

Pertemuan antara Presiden terpilih Prabowo Subianto dan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri selalu menjadi perhatian publik. Setiap gestur, ekspresi, bahkan lokasi dan suasana pertemuan mereka, menjadi bahan tafsir para pengamat politik. Foto pertemuan terbaru mereka memperlihatkan dua tokoh besar ini duduk berdampingan, seolah menegaskan bahwa politik bukan hanya soal kontestasi, tetapi juga soal kompromi dan kesinambungan.

Namun, apakah pertemuan ini sekadar simbol atau menyimpan makna yang lebih dalam? Untuk menjawabnya, kita harus menggali konteks sejarah hubungan keduanya, dinamika koalisi hari ini, dan arah politik menuju 2029.

Prabowo dan Megawati punya sejarah panjang dalam percaturan kekuasaan nasional. Pada Pilpres 2009, Prabowo menjadi calon wakil presiden mendampingi Megawati. Pasangan ini kalah dari SBY-Boediono. Hubungan mereka sempat renggang ketika Prabowo maju sendiri pada 2014 dan 2019 melawan Joko Widodo, kader utama PDIP yang diusung Megawati. Persaingan ini bahkan sempat membuat kedua tokoh berada pada posisi berseberangan secara ideologis dan emosional.

Namun, pasca Pilpres 2019, terjadi perubahan besar: Prabowo bergabung ke kabinet Jokowi sebagai Menteri Pertahanan. Ini menjadi titik balik menuju rekonsiliasi yang lebih besar. Kini, pertemuan mereka dalam kapasitas Prabowo sebagai presiden terpilih 2024 adalah kelanjutan dari “rekonsiliasi nasional” yang dimulai sejak era Jokowi.

PDI Perjuangan, yang sempat berada di luar lingkaran utama koalisi Prabowo pada Pilpres 2024, kini tampak membuka pintu komunikasi. Meskipun partai ini tidak secara formal bergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM), pertemuan ini bisa dibaca sebagai sinyal: PDIP tidak ingin berada di luar kekuasaan terlalu lama.

Bagi Megawati, pertemuan ini penting secara simbolik. Ia tidak sedang menegosiasikan posisi menteri semata, melainkan menjaga marwah partai dan memastikan transisi kekuasaan tetap mempertimbangkan “nilai-nilai Soekarnoisme”. Ini juga menjadi pesan ke internal PDIP bahwa Megawati tetap menjadi pusat kekuatan dan penghubung antara masa lalu dan masa depan.

Bagi Prabowo, menjalin hubungan baik dengan PDIP adalah langkah strategis. Ia tidak hanya ingin membentuk pemerintahan yang kuat, tapi juga stabil secara politik. Dengan mendekati Megawati, Prabowo memberi sinyal kepada publik bahwa pemerintahannya akan inklusif dan tidak meminggirkan kekuatan oposisi tradisional.

Langkah ini juga bisa dipandang sebagai strategi “menjinakkan” oposisi. Jika PDIP terlalu kritis atau agresif dari luar, kekuatan politik mereka di parlemen masih signifikan. Namun jika didekati dengan cerdas, PDIP bisa menjadi mitra kooperatif dalam pemerintahan tanpa harus bergabung secara formal.

Isu yang paling sensitif dan strategis dari pertemuan ini justru terkait Pilpres 2029. PDIP memiliki sederet kader potensial seperti Puan Maharani. Sementara itu, Prabowo memiliki Gibran Rakabuming Raka sebagai wakil presiden terpilih—yang digadang-gadang sebagai kandidat kuat pada 2029 jika Prabowo tidak maju lagi.

Apakah pertemuan ini membicarakan skenario politik 2029? Bisa jadi. Megawati tentu ingin memastikan masa depan PDIP tetap relevan di tengah arus regenerasi. Sedangkan Prabowo harus menjaga keseimbangan antara membangun legacy pemerintahan dan membuka jalan bagi kadernya (mungkin Gibran) tanpa membuat lawan-lawan potensial terlalu defensif sejak awal.

Pertemuan ini bisa saja membuka jalan menuju kesepakatan informal: semacam kompromi politik yang memastikan tidak terjadi benturan keras antara “putra mahkota Prabowo” dan “penerus Megawati” lima tahun mendatang.

Pertemuan Prabowo-Megawati bukan sekadar basa-basi politik. Ia adalah panggung diplomasi tingkat tinggi yang menggambarkan kepiawaian dua tokoh besar dalam membaca arah angin, menjaga kekuasaan, dan merancang masa depan.

Bagi rakyat, ini bisa menjadi harapan akan stabilitas nasional. Namun bagi elit politik, ini adalah kode keras bahwa siapa pun yang ingin berkuasa di Indonesia, harus mampu bermain di antara kutub Prabowo dan Megawati—dua poros yang masih sangat relevan dalam politik Indonesia hari ini.

 

Simak berita dan artikel lainnya di Google News