Presiden Prabowo Diduga Jadi Target Operasi Intelijen, Kudeta Senyap dari Dalam Istana?

Presiden Prabowo Subianto kini menjadi sorotan tajam bukan hanya karena kebijakan-kebijakan kontroversialnya pasca Pilpres 2024, tetapi juga karena munculnya dugaan serius bahwa ia tengah menjadi target dari sebuah operasi intelijen yang rapi dan sistematis. Pendapat itu disampaikan oleh Hara Nirankara, pemerhati politik dan telik sandi yang lama mengamati dinamika kekuasaan di balik layar.

“Yang sedang kita saksikan bukan hanya pelemahan politik biasa. Ini adalah kudeta senyap, yang dilakukan dengan membatasi akses informasi presiden dan menjebaknya dalam struktur kekuasaan yang ia sendiri tak sepenuhnya kuasai,” ujar Hara di akun X (Twitter) miliknya (8/4/2025).

Hara menyoroti penampilan Prabowo dalam wawancara bersama pemimpin redaksi media nasional di Hambalang pada 6 April 2025 sebagai titik balik. Dalam wawancara yang disiarkan oleh Narasi Newsroom dan kanal-kanal berita besar lainnya, Prabowo tampak tidak menguasai isu, termasuk tentang RUU TNI yang tengah menciptakan kegaduhan sosial. “Seorang presiden yang tak tahu isu strategis—itu bukan semata soal ketidaksiapan. Itu pertanda ada aliran informasi yang sengaja ditutup,” kata Hara.

Menurutnya, ada pola kontrol informasi yang dijalankan oleh orang-orang terdekat presiden sendiri. Salah satu sosok yang disebut adalah Teddy Indra Wijaya, ajudan sekaligus Sekretaris Kabinet yang memegang kendali atas ponsel dan jadwal presiden. “Jika ajudan menjadi satu-satunya pintu informasi, maka presiden sedang dikurung dalam sistem. Ini sangat khas dalam operasi intelijen model infiltrasi,” tegas Hara.

Hara Nirankara juga menyinggung keterlibatan aktor-aktor dari lingkaran kekuasaan sebelumnya. Ia menyebut nama mantan presiden Joko Widodo sebagai figur sentral yang berperan besar dalam membentuk struktur kekuasaan saat ini. “Teddy adalah orang kepercayaan Jokowi. Ia bukan sekadar staf teknis. Penempatannya di sisi Prabowo adalah bagian dari desain jangka panjang,” ujar Hara.

Menurutnya, operasi seperti ini bertujuan untuk menjaga keberlanjutan agenda kekuasaan Jokowi dan jaringan oligarki di belakangnya. Dengan menjadikan Prabowo sebagai wajah pemerintahan namun membatasi ruang geraknya, mereka bisa mengontrol arah kebijakan tanpa harus tampil ke publik. “Ini operasi kendali jarak jauh. Boneka kekuasaan yang dikendalikan bukan dari luar negeri, tapi dari lingkaran domestik yang lebih dalam,” tambah Hara.

Hara memperingatkan bahwa jika dugaan ini benar, maka demokrasi Indonesia berada dalam ancaman serius. Presiden sebagai simbol kedaulatan rakyat justru dijadikan alat oleh kekuatan di luar kendali konstitusional. “Rakyat memilih Prabowo karena mereka ingin arah baru. Tapi yang terjadi justru kesinambungan dari kekuasaan lama yang hanya berganti topeng,” ucapnya.

Ia mengajak masyarakat sipil, pers, dan akademisi untuk lebih jeli membaca dinamika kekuasaan hari ini. “Kita tidak bisa hanya melihat permukaan. Demokrasi sedang disusupi dari dalam. Jika tidak ada perlawanan, maka Indonesia akan dipimpin oleh sistem bayangan, bukan oleh pemimpin sejati,” tutup Hara.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News