Oleh: Rokhmat Widodo, Pengamat politik dan kader Muhammadiyah Kudus
Pengesahan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) dinilai mengembalikan konsep dwifungsi TNI telah menimbulkan polemik di kalangan akademisi dan masyarakat sipil. Salah satu suara kritis datang dari civitas akademika Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), yang menyatakan secara tegas menolak undang-undang tersebut karena dianggap bertentangan dengan semangat reformasi dan demokratisasi yang telah diperjuangkan sejak era 1998.
Keberatan ini tidak hanya sebatas sikap akademik, tetapi juga berakar pada nilai-nilai yang dianut oleh Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) dalam menjalankan prinsip Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Sebagai institusi pendidikan yang berlandaskan nilai Islam dan kebangsaan, PTM memiliki tanggung jawab moral untuk menyuarakan kebenaran dan menolak kebijakan yang berpotensi melemahkan demokrasi serta supremasi sipil.
Reformasi 1998 merupakan titik balik bagi demokrasi di Indonesia, termasuk dalam hal menata kembali peran TNI dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satu capaian penting reformasi adalah penghapusan dwifungsi TNI, yaitu konsep yang memberi peran ganda bagi militer dalam bidang pertahanan serta politik dan pemerintahan. UU TNI yang baru dinilai berpotensi menghidupkan kembali peran ini dengan memberi ruang bagi prajurit aktif untuk menduduki jabatan sipil.
Dari perspektif demokrasi, hal ini berbahaya karena dapat menggerus supremasi sipil yang menjadi pilar utama negara demokratis. Militer yang seharusnya profesional dan fokus pada pertahanan nasional bisa kembali terlibat dalam pengambilan kebijakan sipil. Akibatnya, ketimpangan antara otoritas sipil dan militer bisa muncul kembali, seperti yang pernah terjadi di era Orde Baru.
Muhammadiyah sebagai organisasi Islam modernis memiliki tradisi panjang dalam mengawal demokrasi dan hak asasi manusia di Indonesia. Prinsip Amar Ma’ruf Nahi Munkar yang menjadi landasan gerakan Muhammadiyah menuntut keberpihakan pada kebenaran dan keadilan, termasuk dalam kebijakan publik yang menyangkut kepentingan bangsa.
Dalam konteks UU TNI, sikap civitas akademika UMY mencerminkan implementasi nyata dari prinsip tersebut. Dengan menolak kebijakan yang dinilai berpotensi merugikan demokrasi, PTM menunjukkan perannya sebagai institusi yang tidak hanya berfokus pada pendidikan, tetapi juga pada advokasi kebijakan publik yang berorientasi pada kemaslahatan umum.
Langkah konkret yang diambil UMY, seperti mendorong judicial review ke Mahkamah Konstitusi, adalah wujud nyata dari peran akademisi dalam demokrasi. Judicial review menjadi mekanisme konstitusional yang memungkinkan pengujian terhadap kebijakan yang dianggap tidak sejalan dengan prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.
UU TNI membawa impikasi pertama, pertama, kemunduran demokrasi. Dengan kembalinya militer ke ranah sipil, ada risiko terjadinya kemunduran dalam konsolidasi demokrasi Indonesia. Kedua, pelemahan partisipasi publik. Kebijakan yang tidak melalui proses konsultasi publik yang baik akan semakin menjauhkan masyarakat sipil dari pengambilan kebijakan nasional. Ketiga, erosi supremasi sipil. Konstitusi Indonesia menempatkan sipil sebagai pengendali utama dalam pemerintahan, dan pelonggaran batasan peran TNI bisa mengganggu keseimbangan tersebut.
Oleh karena itu, sikap tegas dari PTM, termasuk UMY, harus dilihat sebagai bagian dari peran intelektual dalam menjaga keseimbangan antara kekuasaan negara dan hak-hak rakyat. Keberanian dalam menyuarakan kebenaran harus menjadi teladan bagi elemen masyarakat sipil lainnya untuk tetap kritis dan berpartisipasi aktif dalam membangun negara yang demokratis dan berkeadilan.
Sikap kritis civitas akademika UMY terhadap UU TNI merupakan refleksi dari tanggung jawab moral dan intelektual dalam menjalankan prinsip Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Penolakan terhadap kembalinya dwifungsi TNI bukan sekadar sikap akademik, tetapi juga bagian dari perjuangan mempertahankan demokrasi di Indonesia. Judicial review ke Mahkamah Konstitusi adalah langkah tepat yang harus terus dikawal oleh berbagai elemen masyarakat sipil. Perguruan Tinggi Muhammadiyah, sebagai bagian dari pilar demokrasi, harus terus mengawal kebijakan publik agar tetap sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, hak asasi manusia, dan keadilan sosial.