Pengesahan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) mendapat berbagai tanggapan dari berbagai pihak. Salah satu yang turut memberikan pandangannya adalah pengacara Habib Rizieq Syihab, Aziz Yanuar. Ia menegaskan bahwa tidak ada masalah dengan perubahan yang dilakukan dalam UU TNI tersebut. Menurutnya, beberapa pasal yang dipermasalahkan dinilai baik serta bermanfaat bagi institusi TNI dan kepentingan negara.
“Terkait dengan UU TNI yang disahkan, menurut saya tidak ada masalah. Beberapa pasal yang dipermasalahkan. Itu juga bagus,” ujar Aziz Yanuar kepada redaksi www.suaranasional, Senin (24/3/2025).
Beberapa pasal yang dimaksud adalah Pasal 3, Pasal 7, Pasal 47, dan Pasal 53.
-Dalam revisi UU TNI pasal 3 ayat satu tersebut dalam hal pengerahan dan penggunaan kekuatan militer, TNI berkedudukan di bawah Presiden.
Kemudian, dalam Pasal 3 ayat 2, yaitu kebijakan dan strategi pertahanan serta dukungan administrasi yang berkaitan dengan aspek perencanaan strategis TNI berada di dalam koordinasi Kementerian Pertahanan.
-Pasal 7: Penambahan Tugas Operasi Militer Selain Perang. Perubahan dalam Pasal 7 mengatur mengenai tambahan tugas bagi TNI dalam operasi militer selain perang. Dengan revisi ini, TNI mendapatkan mandat yang lebih luas dalam menghadapi ancaman non-militer yang dinilai semakin kompleks. Hal ini termasuk keterlibatan dalam mengatasi bencana alam, aksi terorisme, serta ancaman siber yang semakin berkembang.
-Pasal 47: Jabatan di Kementerian/Lembaga yang Bisa Diisi oleh TNI Aktif. Dalam Pasal 47, terdapat penambahan jumlah jabatan publik yang dapat diisi oleh prajurit TNI aktif. Sebelumnya, hanya 10 posisi yang diperbolehkan untuk diisi oleh TNI aktif, namun kini jumlahnya bertambah menjadi 14. Perubahan ini dianggap memberikan peluang bagi TNI untuk lebih berperan dalam birokrasi pemerintahan, khususnya dalam sektor-sektor strategis yang berkaitan dengan pertahanan dan keamanan nasional.
Dalam Pasal 47 ayat 1, disebutkan prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada 15 kementerian/lembaga, yaitu (1) Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan; (2) Dewan Pertahanan Nasional; (3) Kesekretariatan Negara yang menangani urusan Kesekretariatan Presiden dan Kesekretariatan Militer Presiden; (4) Intelijen Negara; (5) Siber dan/ atau Sandi Negara; (6) Lembaga Ketahanan Nasional; (7) Search and Rescue (SAR) Nasional; (8) Narkotika Nasional; (9) Pengelola Perbatasan; (10) Kelautan dan Perikanan; (11) Penanggulangan Bencana; (12) Penanggulangan Terorisme; (13) Keamanan Laut; (14) Kejaksaan RI; (15) Mahkamah Agung.
-Pasal 53: Perubahan Batas Usia Pensiun Prajurit TNI. Revisi pada Pasal 53 mengubah batas usia pensiun prajurit TNI, yang kini lebih variatif berdasarkan pangkat dan jabatan yang diemban. Dengan adanya aturan ini, diharapkan regenerasi di tubuh TNI tetap berjalan dengan baik, sekaligus memberikan kesempatan kepada prajurit yang memiliki keahlian strategis untuk mengabdi lebih lama.
Aziz Yanuar menilai bahwa perubahan dalam revisi UU TNI ini merupakan langkah yang baik dan tidak perlu diperdebatkan secara berlebihan. Menurutnya, masyarakat perlu membaca secara menyeluruh isi revisi sebelum memberikan pendapat.
“Kita harus membiasakan diri untuk membaca tuntas sebelum berkomentar dan berpendapat. Kalau kita baca baik-baik, perubahan ini bagus dan justru memberikan manfaat bagi bangsa dan negara,” tegasnya.
Menurutnya, perubahan dalam regulasi tersebut seharusnya dilihat secara objektif dan tidak langsung diasosiasikan dengan masa lalu.
“Kekhawatiran soal dwi fungsi TNI ini menurut saya terlalu berlebihan. Harusnya kita lihat dulu secara utuh seperti apa perubahan yang diusulkan dalam revisi UU TNI ini,” paparnya.
Aziz menegaskan bahwa dalam konteks negara demokrasi, peran TNI tetap memiliki batasan yang jelas, sebagaimana diatur dalam konstitusi. Ia menilai bahwa reformasi di tubuh militer sudah berjalan dengan baik sejak era reformasi dan tidak serta-merta akan kembali ke model lama.
“Selama tidak ada penyimpangan dari prinsip supremasi sipil, saya kira tidak ada yang perlu dikhawatirkan. TNI juga memiliki peran penting dalam menjaga stabilitas negara,” tambahnya.
Azis menegaskan bahwa personel TNI aktif tidak memiliki peran dalam lembaga legislatif maupun pengawasan seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Hal ini, menurutnya, merupakan bagian dari upaya menjaga keseimbangan demokrasi dan memastikan bahwa supremasi sipil tetap berjalan sesuai amanat reformasi.
Menurut Azis, dalam UU TNI bentuk konkret dari supremasi sipil, di mana roda pemerintahan dan proses legislasi dikendalikan oleh unsur-unsur sipil yang berasal dari partai politik atau jalur independen. “TNI aktif tidak masuk dalam legislasi dan pengawasan. Ini adalah jaminan bahwa supremasi sipil tetap terjaga,” tegasnya.