Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman, menegaskan bahwa pengesahan Undang-Undang (UU) TNI yang baru bukan merupakan bentuk kembalinya konsep Dwi Fungsi ABRI seperti yang terjadi di era Orde Baru. Ia menekankan bahwa regulasi tersebut justru mengatur secara ketat peran TNI di luar sektor pertahanan.
“Dwi Fungsi ABRI yang dulu memungkinkan TNI mendominasi pemerintahan dengan menduduki berbagai posisi politik tanpa melalui pemilu, memiliki fraksi di DPR, hingga menjalankan bisnis, sudah tidak berlaku lagi,” ujar Habiburokhman dalam keterangannya kepada redaksi www.suaranasional.com, Ahad (23/3).
Ia menjelaskan bahwa UU TNI hanya memperbolehkan prajurit aktif untuk bertugas di luar struktur TNI dalam lembaga-lembaga yang memiliki relevansi dengan tugas pertahanan dan keamanan, seperti Badan Keamanan Laut (Bakamla), Badan Penjaga Perbatasan, serta posisi khusus seperti Jaksa Agung Pidana Militer di Kejaksaan Agung dan Hakim Agung Militer di Mahkamah Agung.
“UU TNI tidak mengizinkan prajurit TNI menjadi kepala daerah tanpa pemilu, tidak memberikan kursi bagi TNI di DPR tanpa pemilu, serta tidak memperbolehkan mereka menduduki jabatan di kementerian yang tidak terkait dengan tugas pertahanan,” tegasnya.
Lebih lanjut, ia mengingatkan bahwa selama ini TNI kerap berperan dalam berbagai situasi darurat, seperti penanganan pandemi Covid-19 dan bencana alam. Namun, hal itu tidak berarti mereka mengambil alih pemerintahan, melainkan hanya mendukung dalam kapasitas kemanusiaan dan ketahanan nasional.
“Dengan aturan ini, kita justru memaksimalkan sumber daya manusia TNI untuk membantu kementerian dan lembaga yang memiliki keterkaitan dengan tugas mereka,” ujarnya.
Dengan demikian, Habiburokhman memastikan bahwa UU TNI yang baru tetap menjaga prinsip supremasi sipil, sekaligus mengoptimalkan peran TNI dalam mendukung stabilitas nasional tanpa mengulang kesalahan masa lalu.