Pengesahan revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) oleh DPR RI telah memicu berbagai reaksi di kalangan mahasiswa, akademisi, dan aktivis masyarakat sipil. Ketua Umum PPPJNA 98, Anto Kusumayuda, meminta mahasiswa untuk menahan diri dan tidak melakukan tindakan kekerasan dalam menyikapi regulasi baru ini. Ia juga menekankan bahwa jalur yang paling tepat untuk menantang UU tersebut adalah melalui judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK).
Anto menegaskan bahwa kebebasan berpendapat adalah hak konstitusional, tetapi harus dilakukan secara damai dan sesuai dengan hukum yang berlaku.
“Kami memahami ada perbedaan pendapat terkait revisi UU TNI ini. Namun, kami mengimbau mahasiswa dan elemen masyarakat lainnya untuk tidak bertindak anarkis. Jika merasa keberatan, silakan gunakan jalur hukum dengan mengajukan judicial review ke MK,” ujar Anto kepada www.suaranasional.com,Jumat (21/3).
PPJNA 98 juga menyoroti pentingnya menjaga stabilitas nasional di tengah berbagai tantangan sosial-politik yang sedang dihadapi Indonesia. Menurut Anto, aksi demonstrasi yang berujung pada kekerasan justru dapat merugikan gerakan mahasiswa itu sendiri dan menciptakan ketidakstabilan yang berpotensi dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk kepentingan politik.
Pengajuan judicial review ke MK merupakan salah satu mekanisme hukum yang dapat digunakan oleh warga negara atau kelompok masyarakat yang merasa hak-haknya dirugikan oleh suatu undang-undang. Dalam kasus revisi UU TNI, judicial review dapat menjadi langkah strategis untuk menguji apakah perubahan dalam undang-undang tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip yang diatur dalam UUD 1945.
Secara historis, judicial review telah menjadi alat efektif dalam menjaga keseimbangan antara kewenangan negara dan hak-hak sipil. Beberapa putusan MK sebelumnya juga telah membatalkan pasal-pasal dalam undang-undang yang dianggap tidak sejalan dengan konstitusi, seperti dalam kasus UU Cipta Kerja dan UU KPK.
Namun, tantangan dalam judicial review adalah membuktikan bahwa pasal-pasal dalam UU TNI yang baru benar-benar melanggar konstitusi. Selain itu, diperlukan koordinasi yang baik antara mahasiswa, akademisi, dan organisasi masyarakat sipil agar gugatan ini memiliki landasan hukum yang kuat dan mendapatkan dukungan luas dari publik.
Dalam menghadapi revisi UU TNI ini, mahasiswa dan masyarakat sipil memiliki dua pilihan utama: pertama, mengajukan judicial review ke MK untuk menantang aspek hukum dari revisi ini; kedua, mendorong dialog politik dengan pemerintah dan DPR untuk membahas kembali aturan yang dianggap bermasalah.
“Indonesia adalah negara hukum. Jika ada aturan yang dinilai tidak adil, maka langkah terbaik adalah mengajukan judicial review ke MK, bukan turun ke jalan dengan cara-cara yang bisa merugikan kepentingan masyarakat luas,” tutup Anto.