Oleh: Memet Hakim, Pengamat Sosial & Lingkungan, Dewan Penasihat APIB & APP TNI
Perkembangan teknologi menjawab bahwa minyak sawit selain untuk makanan dan kosmetika ternyata dapat diubah menjadi Bio Diesel dan Bio Gasoline, ini merupakan peluang baik buat Indonesia. Jika Indonesia ingin mengurangi ketergantungan minyak fosil, maka penguatan produksi minyak sawitlah yang memungkinkan sebagai penggantinya. Artinya minyak fosil dan minyak sawit dapat memenuhi kebutuhan sendiri, bahkan dapat diekspor. Bahan Bakar Nabati yang dihasilkan dari minyak sawit kualitasnya sangat baik dapat mengalahkan kualitas minyak bumi, oleh karena itu jika dicamporkan akan meningkatkan kualitas BBM di Indonesia.
Luas Perkebunan Kelapa Sawit 2025 diperkirakan sudah mencapai 17.3 juta ha dari sekitar 20.5 juta ha perkiraan areal sawit berijin. Jadi masih ada sekitar 3 juta ha lagi yang belum ditanami, karena berbagai hal dan lokasinya tersebar di berbagai Perusahaan. Perkebunan Rakyat 6.7 juta ha, Perkebunan Swasta 10 juta ha, sedang Perkebunan milik Negara hanya 0.6 juta ha. Minyak sawit adalah komoditi strategis tidak boleh didominasi swasta, oleh karena itu ijin2 pengembangan Perkebunan Sawit swasta harus dihentikan segera. Selanjutnya Perkebunan Besar Negara yang harus dibesarkan.
Langkah pemerintah dengan menyita aset Perusahaan swasta yang bermasalah seluas 221.000 ha dan diberikan kepada BUMN adalah langkah yang tepat. Sebenarnya masih banyak Perkebunan sawit yang bermasalah di lapangan terutama yang mis management dan tersandung permasalahan keuangan di Bank, sehingga akhirnya Perkebunan tersebut menjadi tidak atau kurang produktif. Kebun-kebun seperti ini dapat dialihkan ke BUMN yang memiliki kapasitas mengelolanya. Kebun sawit yang kurang produktif sangat merugikan ybs, negara, pemda serta lingkungan sekitarnya.
Seperti diketahui bahwa BUMN sawit merupakan perkebunan sawit yang paling efektif, produktivitasnya mencapai 51.3 % dari potensinya, sedang Perusahaan swasta hanya 43.04 %. Perkebunan rakyat paling rendah yakni 31.99 %. Oleh karena itu BUMN perkebunan yang selama ini dikerdilkan, harus dikembangkan untuk mendukung program strategis ini.
Produksi minyak sawit nasional sekitar 50 juta ton dengan catatan tingkat pencapaian produktivitas hanya 35 % dari potensinya. Konsumsi Dalam Negeri untuk pangan sekitar 10 juta ton, “tidak boleh diganggu”, Oleo chemical 3 juta ton dan Bio diesel sebanyak 12 juta ton, jadi totalnya menjadi 25 juta ton, sehingga “total kebutuhan Dalam Negeri tahun 2025 adalah 25 juta ton”. Sisanya 25 juta ton boleh di ekspor, untuk menjaga harga pasar.
Tahun 2024, pemerintah menetapkan kuota BBM subsidi jenis Pertalite sebesar 31,6 juta kilo liter (kl), sedangkan untuk jenis Solar Subsidi sebesar 19,58 juta kl total minyak subsidi 51.18 juta kl (CNBC Indonesia, 02 January 2025), sedang kebutuhan total seluruh BBM adalah 126,39 Juta KL pada 2023 (Bisnis.com 06.12.2024). artinya BBM non subsidi ada 75.21 juta kl.
Kebutuhan BBM seluruhnya diperkirakan 130 juta ton, jika BBM fosil dalam negeri kapasitasnya hanya 30 juta ton, kebutuhan BBMN menjadi 100 juta ton, maka kebutuhan Minyak Sawit sedikitnya 100 juta ton ditambah kuota ekspor minyak sawit 25 juta ton sama dengan menjadi 125 juta ton, sedang produksi saat ini tersedia hanya 50 juta ton, dan artinya kekurangan Minyak Sawit sebesar 75 ton lagi.
Jika intensifikasi pada kelapa sawit diwujudkan seperti pupuk subsisi disiapkan, managemen usaha taninya dibenahi dan menanami lahan yang telah berijin, maka dengan luasan lahan yang ada produksi nasional dapat menghasilkan 100 juta ton. Jika stop ekspor maka seluruh kebutuhan energi BBM+BBN sudah cukup tanpa penambahan areal lagi.
Akan tetapi jika ekspor akan dipertahankan minimal 25 juta ton minyak sawit/tahun maka diperlukan tambahan areal sebanyak 8 juta ton termasuk areal Replanting & TBM. Dengan perhitungan sbb :
Kekurangan minyak sawit 25 juta ton lagi, jika reratanya produktivitas 7 ton minyak sawit saja, maka dibutuhkan areal tambahan seluas 4 juta ha lagi. Kebutuhan lahan TBM sebanyal 16 % 4 juta ha, maka kebutuhan tambahan areal menjadi 8 juta ha, sehingga luas ideal Perkebunan kelapa sawit menjadi 28 juta ha. Lahan tersedia dalam bentuk hutan sekunder 24.5 juta ha, lahan tidur 20.5 juta ha, tinggal dipilih dimana yang paling cocok.
Agar hutan sekunder dan lahan tidur itu bermanfaat, maka sebaiknya dijadikan kebun karet sehingga Indonesia memiliki 2 komoditi andalan strategis yakni sawit dan karet. Jika ada lahan yang datar non gambut mungkin dapat menambah tanaman tebu sehingga Indonesia tidak perlu impor lagi. Pada prinsipnya baik hutan maupun sawit menghasilkan O2 dan menyerap. Hanya saja untuk penyerapan CO2 lebih banyak dilakukan oleh tanama C4 (kelompok Poaceae atau Graminae) seperti tebu, padi & jagung.
Penyerapan Karbon Dioksida dan Produksi Oksigen Antara Perkebunan Kelapa Sawit dan Hutan Tropis.
Indikator | Hutan Tropis | Perkebunan Kelapa Sawit |
Asimilasi Kotor (Ton CO2/Ha/Tahun) | 163,5 | 161,0 |
Total Respirasi (Ton CO2/Ha/Tahun) | 121,1 | 96,5 |
Asimilasi Netto (Ton CO2/Ha/Tahun) | 42,4 | 64,5 |
Produksi Oksigen (O2) (Ton CO2/Ha/Tahun) | 7,09 | 18,70 |
Sumber: Henson (1999), PPKS (2004, 2005) vide Mitos vs Fakta, PASPI 2017
https://www.astra-agro.co.id/2018/03/05/perkebunan-kelapa-sawit-produsen-oksigen-paling-banyak/
Luas daratan Indonesia 190 juta ha, termasuk areal hutan sebanyak 96 juta ha (50.5 %). yang terdiri dari “hutan primer” 47 juta ha, dan “hutan sekunder” 43.1 juta ha kemudian hutan tanaman 5.4 juta ha. Jika hutan primer dijadikan acuan minimal 35 % (pedoman umum 30%), maka dibutuhkan tambahan 19,5 juta ha menjadi 66.5 juta ha. Pemerintah harus mempunyai program membuat hutan sekunder menjadi hutan primer yang tidak boleh diganggu gugat seluas 19.5 juta ha. Areal Non hutan tercatat ada 92 juta ha.
Sisa hutan sekunder 24.5 juta ha, dapat saja ditanami kebun karet dan kelapa sawit, karena akan lebih bermanfaat memperbaiki lingkungan dan menghasilkan uang. Lahan tersedia berupa Sisa IUP Kelapa Sawit 3.5 juta Ha (European Forest Institute, 2024), Lahan Tidur 20.5 juta Ha (Kompas.com, 13/05/2024) dan Lahan Kehutanan yang dapat dikonversi 20 Juta Ha (Kompas.tv, 03.01. 2025).
Jadi jika sebagian hutan sekunder dan lahan tidur (Non Hutan) yang jumlahnya 40 juta-44.5 juta ha tersebut dimanfaatkan untuk sawit sebanyak 10-15 juta ha, tentu tidak mengganggu lingkungan bahkan dapat menghasilkan devisa dan kas negara, dengan catatan seluruhnya harus dikelola oleh negara dan sebagian merupakan Perkebunan Inti rakyat. Ingat komoditi strategis tidak boleh dikuasai oleh swasta apalagi swasta asing,
Masalah utama bio energi adalah penyediaan bahan baku berupa minyak sawit dan solusinya sbb:
- Gap yang besar antara potensi dan realisasi rerata nasional yakni 35.5 % dari potensi produksinya, akan tetapi dengan program intensifikasi produktivitasnya dapat ditingkatkan. Termasuk didalamnya pengendalian genangan, jumlah dan frekuensi pupuk dan penggunakan teknologi agronomi yang baik.
- Berikan pupuk subsidi, dimana pupuk pupuk subsidi akan kembali ke kas negara dalam bentuk Bea Kelua, Pungutan ekspor dan PPN yang jumlahnya lebih dari 200 %.
- Lahan sawit berijin belum ditanami tersedia seluas 3 juta ha, dapat segera ditanami
- Kembangkan dan tugaskan Perusahaan BUMN untuk memenuhi kebutuhan BBM nasional, dengan :
- Mengambil alih Perusahaan swasta yang terbengkalai
- Mengangabil alih perkebunan yang mengalami permasalahan dengan Bank sejak kolateral 2 atau 3
- Membuka lahan baru pada lahan tidur/terlantar atau pada areal hutan sekunder yang tidak produktif.
- Perbaikan jaringan jalan produksi,
- Pembuatan pabrik Bio diesel & Bio Gasoline oleh BUMN
Bandung 19 Maret 2025