Polemik seputar Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) semakin memanas setelah munculnya penolakan dari beberapa organisasi masyarakat sipil. Salah satu yang menyoroti hal ini adalah PPJNA 98 yang menyebut bahwa ada dugaan pendanaan asing di balik penolakan tersebut.
Ketua Umum PPJNA 98, Anto Kusumayuda, menegaskan bahwa perlu ada audit terhadap Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang menentang RUU TNI. “Kami melihat ada indikasi kuat bahwa beberapa LSM yang gencar menolak revisi UU TNI mendapatkan pendanaan dari pihak asing. Ini harus diselidiki secara transparan karena berpotensi melemahkan peran TNI sebagai garda terdepan pertahanan negara,” ujar Anto kepada redaksi www.suaranasional.com, Senin (17/3/2025).
Kecurigaan PPJNA 98 terhadap keterlibatan asing dalam penolakan RUU TNI bukan tanpa alasan. Sejumlah laporan menunjukkan bahwa beberapa organisasi masyarakat sipil yang aktif menentang RUU ini sebelumnya telah menerima hibah dan bantuan teknis dari lembaga internasional yang berbasis di negara-negara Barat.
Beberapa organisasi yang menolak RUU ini menyatakan bahwa revisi UU TNI dapat menghidupkan kembali dwifungsi militer dan mengancam supremasi sipil. Namun, PPJNA 98 menilai argumen tersebut terlalu berlebihan dan lebih banyak menguntungkan kepentingan asing yang ingin melemahkan ketahanan nasional Indonesia.
“Jika benar ada dana asing yang mengalir ke LSM yang menolak RUU ini, maka patut diduga ada agenda terselubung untuk melemahkan kedaulatan Indonesia. Ini bukan lagi sekadar perdebatan demokrasi, tetapi sudah masuk dalam ranah ancaman terhadap pertahanan negara,” kata Anto.
RUU TNI sendiri diajukan oleh pemerintah dan DPR dengan tujuan memperkuat peran TNI dalam menghadapi tantangan keamanan yang semakin kompleks. Beberapa poin utama dalam revisi UU ini meliputi:
-Penyesuaian peran TNI dalam tugas non-perang, termasuk di sektor keamanan siber dan penanggulangan bencana.
-Peningkatan kesejahteraan prajurit, terutama dalam aspek tunjangan dan fasilitas kesehatan.
-Modernisasi alutsista guna menghadapi ancaman geopolitik yang semakin dinamis.
RUU ini berpendapat bahwa revisi ini justru menguntungkan TNI dan memastikan mereka tetap relevan dalam menghadapi tantangan keamanan modern.
“Indonesia bukan negara yang bisa disamakan dengan negara lain. TNI lahir dari rakyat, bukan sekadar alat negara seperti militer di negara-negara lain. RUU ini justru akan semakin memperkuat hubungan antara TNI dan rakyat,” ujarnya.
Jika benar ada upaya melemahkan TNI melalui penolakan RUU ini, maka hal tersebut bisa menjadi ancaman serius bagi NKRI. Sejarah telah membuktikan bahwa kedaulatan suatu negara bisa goyah jika militernya lemah atau dipecah-belah oleh kepentingan asing.
Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia menghadapi berbagai tantangan mulai dari konflik Laut Natuna Utara hingga meningkatnya ancaman terorisme di dalam negeri. Dalam kondisi seperti ini, memperkuat militer bukanlah sebuah pilihan, melainkan keharusan.
PPJNA 98 mendesak pemerintah dan aparat penegak hukum untuk mengaudit sumber pendanaan LSM yang menolak RUU TNI. Mereka juga meminta agar pemerintah tetap berkomitmen memperkuat TNI tanpa terpengaruh oleh tekanan dari pihak-pihak yang ingin melemahkan pertahanan negara.
“Kita tidak boleh naif. Ada pihak-pihak yang ingin melihat Indonesia lemah. Jika kita tidak berhati-hati, kita bisa kehilangan kedaulatan kita sedikit demi sedikit,” tutup Anto.