Kekhawatiran terkait kembalinya Dwi Fungsi ABRI melalui Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI adalah berlebihan. Situasi saat ini telah jauh berbeda dari era sebelum reformasi, di mana kekuasaan tidak memiliki batasan yang jelas.
“Presiden saat ini sudah dibatasi maksimal dua periode. Kekhawatiran bahwa TNI akan kembali digunakan untuk kepentingan politik kekuasaan tentu tidak relevan lagi, kecuali jika jabatan presiden tidak dibatasi,” ujar Koordinator SIAGA 98, Hasanuddin, dalam keterangan kepada redaksi www.suaranasional.com, Sabtu (15/3).
Lebih lanjut, SIAGA 98 menekankan bahwa militer tidak lagi memiliki peran di parlemen. “Undang-undang Pemilu dan DPR sudah menghapus peran militer di legislatif. Oleh karena itu, tidak ada ruang bagi TNI untuk kembali berpolitik seperti dulu,” tambahnya.
SIAGA 98 juga mengkritisi pandangan yang masih melihat militer hanya dalam perspektif perang konvensional. Menurut mereka, tantangan pertahanan saat ini sudah berkembang melampaui aspek persenjataan dan militeristik, mencakup bidang ekonomi, kebudayaan, sosial, teknologi informasi, serta keamanan siber.
“TNI tidak bisa dipisahkan sepenuhnya dari peran sosial. Jika kita hanya membatasi tugasnya pada perang konvensional, maka pertahanan nasional kita justru akan melemah,” jelas Hasanuddin.
Karena itu, SIAGA 98 menilai bahwa peran sosial TNI harus tetap dibuka dalam upaya memperkuat pertahanan nasional. “Misalnya dalam ketahanan pangan, penanganan bencana nasional, serta perlindungan terhadap instalasi dan institusi negara yang strategis,” paparnya.
Namun demikian, SIAGA 98 menegaskan bahwa TNI tetap harus dijauhkan dari politik praktis dan tidak boleh menjadi alat politik kekuasaan. “Selama periodesasi presiden tetap dibatasi dan tentara tidak memiliki kursi di parlemen, maka tidak ada yang perlu dikhawatirkan terkait peran sosialnya,” pungkas Hasanuddin.