Klaim Sesat Syiar Islam Melalui Toa

Oleh: Rokhmat Widodo, Guru SMK Luqmanul Hakim Kudus, Kader Muhammadiyah Kudus

Di sebuah desa kecil yang tenteram, suara azan dari masjid selalu menjadi penanda waktu bagi warga sekitar. Namun, ada satu kebiasaan yang perlahan menimbulkan keresahan: penggunaan toa yang berlebihan. Mulai dari tadarus Al-Qur’an hingga barzanji, suara yang menggelegar dari pengeras suara masjid terus menghiasi malam—bahkan sampai dini hari.

Pak Rahmat, seorang pria sepuh yang terbaring sakit, sering terjaga di tengah malam karena suara toa yang tidak pernah mereda. Anaknya, Lina, yang harus merawatnya, tak kuasa menahan tangis melihat ayahnya menggeliat kesakitan karena gangguan suara yang terus-menerus. “Saya juga Muslim,” katanya pada pengurus masjid, “Tapi, apakah syiar Islam harus seperti ini?”

Di seberang jalan, ada juga keluarga non-Muslim yang setiap malam sulit tidur karena suara lantang dari masjid. Mereka tak berani protes karena takut dianggap anti-Islam. Padahal, mereka hanya meminta sesuatu yang sederhana: ketenangan di rumah mereka sendiri.

Dalam Islam, syiar adalah menyebarkan nilai-nilai kebaikan, bukan menciptakan gangguan. Rasulullah tidak pernah mengajarkan kita untuk berdakwah dengan cara yang menyakiti orang lain. Bahkan, dalam hadisnya, beliau menegur sahabat yang membaca Al-Qur’an terlalu keras di masjid karena bisa mengganggu orang lain yang sedang salat atau istirahat.

Syiar Islam itu lembut dan penuh hikmah. Ia tidak memaksakan, tidak menyakiti, dan tidak merampas hak orang lain atas ketenangan. Jika tujuan dari pengeras suara itu adalah menyampaikan panggilan ibadah, cukup azan saja, sebagaimana yang dianjurkan dalam Islam. Tetapi ketika suara itu berubah menjadi sesuatu yang memaksakan, bahkan menzalimi, maka itu bukan lagi syiar—melainkan kesesatan dalam memahami dakwah.

Tadarus Al-Qur’an adalah ibadah yang sangat mulia, tetapi apakah harus disiarkan dengan pengeras suara hingga tengah malam? Tidak ada dalil yang menyebutkan bahwa membaca Al-Qur’an harus didengar oleh seluruh desa. Sebaliknya, Allah berfirman dalam Al-Qur’an:

“Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam salatmu, dan janganlah pula merendahkannya terlalu rendah, tetapi carilah jalan tengah di antara keduanya.” (QS. Al-Isra’: 110)

Ayat ini menegaskan pentingnya keseimbangan dalam beribadah, termasuk dalam melafalkan ayat suci. Jika bacaan Al-Qur’an yang keras saja tidak dianjurkan dalam salat, bagaimana dengan tadarus yang dipancarkan ke seluruh lingkungan?

Toa yang Mengasingkan Umat

Sebagian orang beranggapan bahwa semakin nyaring suara masjid, semakin kuat pula keislamannya. Padahal, justru sebaliknya. Ketika syiar berubah menjadi gangguan, Islam justru dicitrakan buruk. Tidak sedikit orang yang akhirnya menjauhi masjid, bukan karena tidak ingin beribadah, tetapi karena merasa masjid menjadi sumber ketidaknyamanan.

Lebih buruk lagi, praktik ini menciptakan jurang pemisah antara umat Islam dan komunitas lainnya. Bukannya mencerminkan Islam sebagai agama yang damai dan penuh toleransi, penggunaan toa yang berlebihan justru memperkuat stigma negatif tentang Islam yang intoleran dan tidak peduli dengan hak orang lain.

Sudah saatnya kita memikirkan ulang cara berdakwah dan bersyiar. Islam yang benar adalah Islam yang membawa kedamaian, bukan gangguan. Masjid seharusnya menjadi tempat ibadah yang menenangkan, bukan sumber kebisingan yang meresahkan.

Mengurangi volume toa, membatasi penggunaannya hanya untuk azan dan pengumuman penting, serta lebih mengutamakan dakwah yang bijak dan santun adalah langkah nyata untuk memperbaiki keadaan. Sebab, syiar Islam yang hakiki bukan tentang siapa yang paling keras suaranya, tetapi siapa yang paling lembut dalam menyampaikan kebaikan.

Jika kita benar-benar ingin menegakkan Islam, maka kita harus mulai dengan adab, bukan dengan kebisingan.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News