Oleh: Susiana, Aktivis Aliansi Rakyat Menggugat (ARM)
Di masa kecil, saya selalu ingat bagaimana ayah membawa kami sekeluarga ke pantai saat akhir pekan. Kami bermain ombak, membangun istana pasir, dan menikmati deburan air laut yang seolah menjadi milik bersama. Tidak ada pagar, tidak ada larangan, tidak ada sekat. Tapi kini, kenangan itu seperti mimpi yang kian menjauh.
Di berbagai daerah, pantai yang dulu terbuka untuk semua rakyat kini berubah menjadi area eksklusif yang dijaga ketat. Pasirnya bukan lagi tempat bermain bocah kampung, melainkan lahan privat yang dihuni rumah-rumah mewah. Aksesnya bukan lagi jalan setapak yang bisa dilalui siapa saja, melainkan portal besar yang dijaga satpam.
Kondisi ini bukan sekadar cerita nostalgia, tapi kenyataan pahit yang menimpa banyak daerah di Indonesia, terutama di kawasan strategis seperti Banten, Bali, dan Kepulauan Riau. Di sinilah muncul kekhawatiran bahwa kelompok tertentu, yang disebut sebagai “kelompok naga”, kian mendominasi wilayah-wilayah pantai dan menggusur hak pribumi atas tanah leluhur mereka.
Salah satu contoh yang mencolok adalah pengembangan kawasan Pantai Indah Kapuk (PIK) di Jakarta Utara dan Banten oleh Agung Sedayu Group. PIK 1 dan PIK 2, yang awalnya adalah kawasan rawa dan pantai alami, telah diubah menjadi kompleks perumahan elite, pusat perbelanjaan mewah, dan tempat hiburan eksklusif.
Masalahnya, akses terhadap kawasan ini bukan untuk semua orang. PIK 1 dikenal sebagai area yang sangat tertutup bagi masyarakat umum. Bahkan, banyak yang mengatakan hanya kelompok etnis tertentu yang bisa tinggal di sana. Keberadaan rumah-rumah super mewah dengan harga puluhan hingga ratusan miliar membuat mustahil bagi masyarakat pribumi, yang mayoritas kelas menengah ke bawah, untuk memiliki bagian dari wilayah itu.
Sementara itu, PIK 2 yang dikembangkan di pesisir Banten juga menunjukkan tren serupa. Dengan dalih pembangunan dan investasi, tanah-tanah yang dulu menjadi hak masyarakat adat dan nelayan kini berubah menjadi properti komersial yang tak lagi ramah bagi warga sekitar. Mereka yang tadinya menggantungkan hidup dari laut kini dipaksa pindah karena akses ke pantai telah diprivatisasi.
Kita perlu bertanya, apakah pantai di Indonesia masih milik rakyat, atau sudah menjadi hak investor semata? Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebenarnya menegaskan bahwa zona pantai dan pesisir adalah wilayah yang harus tetap bisa diakses publik. Namun, dalam praktiknya, regulasi ini sering dikesampingkan.
Di Bali, misalnya, banyak pantai indah yang kini dikuasai oleh resor mewah dan hotel berbintang. Beberapa pantai di Nusa Dua dan Jimbaran tidak lagi bebas diakses tanpa membayar tiket masuk atau minimal membeli makanan di restoran hotel. Di Kepulauan Riau, banyak pulau kecil yang kini telah “dibeli” oleh investor asing dan tertutup bagi masyarakat lokal.
Fenomena ini menunjukkan bahwa ada pola sistematis di mana kekuatan modal mampu menggeser hak rakyat atas tanah dan laut mereka. Jika dibiarkan, tidak mustahil bahwa dalam beberapa dekade ke depan, rakyat pribumi hanya akan menjadi penonton di tanahnya sendiri.
Sebagai rakyat, kita tidak boleh diam melihat ketimpangan ini terus berlangsung. Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk merebut kembali hak kita atas pantai-pantai di Indonesia:
1. Mendesak Regulasi yang Ketat
Pemerintah harus mempertegas aturan tentang kepemilikan dan akses terhadap pantai. Zona pantai minimal 100 meter dari garis pasang tertinggi harus tetap menjadi area publik yang bebas diakses masyarakat.
2. Melakukan Audit terhadap Kepemilikan Tanah di Wilayah Pesisir
Perlu dilakukan investigasi terhadap penguasaan tanah di kawasan pantai, terutama yang dikuasai oleh perusahaan besar dan kelompok tertentu. Jika ada indikasi penyimpangan, perlu ada tindakan hukum tegas.
3. Meningkatkan Kesadaran Publik
Media dan aktivis harus terus mengedukasi masyarakat tentang hak-hak mereka atas wilayah pesisir. Tanpa kesadaran kolektif, upaya melawan privatisasi pantai akan sulit dilakukan.
4. Mendorong Model Pembangunan Berkeadilan
Alih-alih menjual tanah pantai kepada investor besar, pemerintah daerah harus lebih berpihak kepada masyarakat lokal, misalnya dengan membangun ekowisata berbasis komunitas yang tetap menjaga akses publik terhadap pantai.
Pantai di Indonesia adalah warisan alam yang seharusnya bisa dinikmati oleh semua lapisan masyarakat, bukan hanya mereka yang punya uang atau kekuasaan. Jika negara benar-benar berpihak pada rakyat, maka privatisasi pantai harus dihentikan dan akses publik harus dijamin.
Bukan dikuasai kelompok naga atau investor asing, pantai di Indonesia harus tetap menjadi milik pribumi. Jika kita tidak bergerak sekarang, mungkin suatu hari nanti, anak-anak kita hanya akan melihat laut dari balik pagar tinggi, tanpa pernah merasakan pasir di bawah kaki mereka.