Kasus dugaan korupsi di tubuh PT Pertamina yang merugikan negara hingga Rp193,7 triliun memicu reaksi keras dari berbagai kalangan. Salah satunya adalah aktivis anti-korupsi asal Lamongan, Rinto Junaidi, yang menyerukan hukuman mati bagi para pelaku korupsi tersebut.
Rinto Junaidi, yang selama ini dikenal vokal dalam memperjuangkan transparansi dan akuntabilitas di sektor publik, menilai bahwa korupsi dalam skala besar seperti ini merupakan kejahatan luar biasa yang harus mendapat hukuman maksimal.
“Angka kerugian yang mencapai Rp193,7 triliun bukan sekadar angka. Ini adalah bentuk penghianatan terhadap rakyat, yang dampaknya langsung terasa pada kesejahteraan masyarakat. Koruptor seperti ini pantas dihukum mati,” tegas Rinto kepada www.suaranasional.com, Ahad (2/3/2025).
Kasus ini bermula dari temuan Kejaksaan Agung terkait dugaan korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina. Para tersangka diduga melakukan berbagai praktik penyimpangan, termasuk penggelembungan biaya impor minyak mentah melalui perantara dengan harga tinggi, meskipun seharusnya dapat mengutamakan pasokan dari dalam negeri.
Selain itu, ditemukan pula praktik manipulasi biaya transportasi dan penyalahgunaan wewenang dalam distribusi bahan bakar. Akibatnya, kerugian negara dalam kasus ini ditaksir mencapai Rp193,7 triliun, yang menurut Kejaksaan Agung merupakan angka sementara dan bisa bertambah seiring dengan penyelidikan lebih lanjut.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Harli Siregar, menyebutkan bahwa kasus ini merupakan salah satu bentuk korupsi terbesar yang pernah terjadi di sektor energi Indonesia.
“Kerugian sebesar ini sangat berdampak pada ekonomi negara dan masyarakat. Kami terus mendalami kasus ini dan tidak menutup kemungkinan akan ada tersangka lain,” ujar Harli dalam konferensi pers.
Rinto Junaidi menegaskan bahwa korupsi dalam skala besar seperti ini harus dipandang sebagai kejahatan luar biasa yang tidak cukup hanya dengan hukuman penjara. Menurutnya, hukuman mati dapat menjadi solusi agar ada efek jera yang nyata.
“Jika para bandar narkoba bisa dijatuhi hukuman mati karena merusak generasi bangsa, maka koruptor kelas kakap yang merusak perekonomian negara juga layak mendapat hukuman serupa,” katanya.
Menurut Rinto, penegakan hukum yang tegas tanpa pandang bulu menjadi kunci untuk memberantas korupsi di Indonesia. Ia juga menyoroti lemahnya sistem pengawasan dalam BUMN seperti Pertamina yang seharusnya lebih transparan dalam pengelolaan keuangan negara.
“Kita butuh reformasi besar-besaran dalam tata kelola BUMN. Jika terus dibiarkan, skandal seperti ini akan terus berulang,” tambahnya.
Besarnya nilai korupsi di Pertamina tentu memiliki dampak yang luas bagi perekonomian nasional dan masyarakat. Dana sebesar Rp193,7 triliun yang seharusnya dapat digunakan untuk pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesejahteraan rakyat malah menguap akibat praktik korupsi.
“Anggaran sebesar ini bisa membangun ribuan sekolah, rumah sakit, dan infrastruktur penting lainnya. Bayangkan berapa juta rakyat yang dirugikan akibat tindakan segelintir elit yang tamak ini,” ujar Rinto.
Ia pun mengajak masyarakat untuk lebih aktif dalam mengawasi kinerja pemerintah dan BUMN, serta melaporkan indikasi korupsi jika menemukan kejanggalan dalam kebijakan maupun pengelolaan keuangan negara.
Saat ini, Kejaksaan Agung terus mendalami kasus ini dan telah menetapkan tujuh tersangka dari berbagai level manajemen di Pertamina. Masyarakat berharap agar proses hukum berjalan transparan dan para pelaku mendapatkan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya.
Rinto Junaidi menutup pernyataannya dengan harapan besar kepada aparat penegak hukum agar kasus ini benar-benar diusut tuntas tanpa ada intervensi politik maupun kepentingan tertentu.
“Jika kita ingin Indonesia bebas dari korupsi, ini saatnya membuktikan bahwa hukum benar-benar tajam ke atas, bukan hanya ke bawah,” pungkasnya.