Pendiri Haidar Alwi Institute (HAI), R Haidar Alwi menilai bahwa ada kemungkinan Kejaksaan Agung “overclaim” kerugian negara dalam kasus timah Harvey Moeis dan kawan-kawan.
Ia menjelaskan bahwa dari total Rp300 triliun kerugian negara dalam kasus timah, sebagian besar di antaranya didominasi oleh kerugian ekologis atau lingkungan yang mencapai Rp271 triliun. Artinya, kerugian ekonomisnya hanya sekira Rp29 triliun.
“Ada kemungkinan overclaim. Maksudnya, Kejaksaan Agung mengklaim kerugian negara yang terlalu tinggi terutama kerugian ekologis yang jumlahnya fantastis,” kata R Haidar Alwi, Minggu (5/1/2025).
Dengan mengklaim dan mengumumkan kerugian negara yang terlalu tinggi, tidak hanya menjadi beban berat bagi Kejaksaan Agung untuk membuktikannya di pengadilan. Akan tetapi Kejaksaan Agung juga harus bertanggungjawab atas ekspektasi tinggi publik terhadap hukuman maksimal bagi koruptor.
“Ketika jaksa gagal membuktikan yang 300 triliun itu di pengadilan, maka di saat yang bersamaan mereka juga gagal memenuhi ekspektasi publik. Di situ lah terjadi gejolak di masyarakat sampai banyak yang rela di penjara 6,5 tahun seperti Harvey Moeis asalkan dapat 300 triliun sebagai ungkapan kekecewaan,” jelas R Haidar Alwi.
Apalagi, beredar suatu pemahaman di masyarakat bahwa kerugian negara Rp300 triliun tersebut berbentuk uang tunai yang semuanya dinikmati oleh koruptor. Padahal dalam dakwaan jaksa, Harvey Moeis dan Helena Lim misalnya, mereka berdua hanya menikmati aliran dana sekira Rp420 miliar yang dalam vonis hakim diwajibkan membayar uang pengganti masing-masing Rp210 miliar.
“Jadi kalau dinilai secara objektif, overclaim kerugian negara juga merugikan nama baik Harvey Moies dan kawan-kawan. Masyarakat yang menilai tidak salah karena semuanya berawal dari kemungkinan “overclaim” oleh Kejaksaan Agung,” ungkap R Haidar Alwi.
Hal itu disampaikan R Haidar Alwi tanpa bermaksud membela koruptor. Dirinya sepakat koruptor harus dihukum seberat-beratnya sesuai dengan tingkat kesalahannya.
“Hukuman bagi koruptor harus setimpal tanpa mengabaikan prinsip-prinsip keadilan. Jangan sampai masyarakat dan pemimpin kita dibuat salah paham mengenai kerugian negara khususnya dalam kasus timah ini,” ucap R Haidar Alwi.
Ia mempertanyakan motivasi Kejaksaan Agung terkait kemungkinan “overclaim” kerugian negara dalam kasus timah. Apakah demi embel-embel mengungkap kasus korupsi terbesar di Indonesia untuk membuat masyarakat dan pemerintah terkesan akan kinerjanya, atau murni karena penegakan hukuman maksimal bagi para koruptor.
“Namun perlu harmonisasi, sinkronisasi atau apapunlah namanya dengan Mahkamah Agung (MA). Sebab, hakim memiliki pedoman tersendiri dalam menilai dan memutuskan. Tanpa itu, apa yang dilakukan Kejaksaan Agung tidak akan begitu berarti. Jaksa hanya terbatas pada menuntut, hakimlah yang memutuskan,” pungkas R Haidar Alwi.