Posisi Presiden Prabowo di Konflik Jokowi-Megawati

Oleh: Rokhmat Widodo, Pengamat Politik dan Kader Muhammadiyah Kudus

Relasi Joko Widodo (Jokowi) dan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri selalu diwarnai naik turun. Sebagai figur yang membawa Jokowi ke panggung nasional, Megawati sering dianggap sebagai mentor politiknya. Namun, seiring waktu, perbedaan visi antara keduanya mulai terlihat. Jokowi dikenal dengan gaya kepemimpinan pragmatis yang fokus pada pembangunan infrastruktur dan reformasi ekonomi, sementara Megawati lebih menekankan pada nilai ideologis dan konsolidasi partai.

Perbedaan ini mencuat pada periode kedua pemerintahan Jokowi, di mana ia tampak semakin independen dalam mengambil keputusan, termasuk dalam menentukan kabinet. Ketegangan memuncak ketika Jokowi mengisyaratkan dukungan kepada beberapa tokoh di luar PDIP untuk melanjutkan estafet kepemimpinan nasional. Jokowi mendukung Prabowo dan menjadikan anakanya Gibran Rakabuming Raka (Gibran) sebagai cawapres di Pilpres 2024.

Sebagai presiden, Prabowo harus memastikan bahwa pemerintahannya tidak terganggu oleh konflik internal di antara kekuatan politik yang mendukungnya. Hal ini menjadi semakin penting karena PDIP, meskipun bukan menjadi bagian dari koalisi, memiliki pengaruh besar di parlemen dan akar rumput.

Prabowo tampaknya memilih posisi netral dalam konflik Jokowi-Megawati. Ia menghindari keberpihakan yang terlalu mencolok kepada salah satu pihak, tetapi tetap mendorong sinergi antara kubu Jokowi dan Megawati demi stabilitas nasional. Dalam beberapa kesempatan, Prabowo menunjukkan sikap sebagai mediator yang mencoba meredam ketegangan antara kedua tokoh tersebut.

Sebagai seorang politisi yang berpengalaman, Prabowo memahami pentingnya pragmatisme dalam politik. Ia cenderung fokus pada isu-isu strategis seperti penguatan pertahanan, pembangunan ekonomi, dan pemberantasan korupsi, yang dapat mengalihkan perhatian dari konflik internal koalisi.

Prabowo juga berusaha membangun basis loyalitas di dalam pemerintahannya, baik melalui penunjukan menteri yang kompeten maupun penggalangan dukungan dari partai-partai kecil. Dengan demikian, ia dapat mengurangi ketergantungan pada satu kekuatan politik tertentu.

Posisi Prabowo di tengah konflik Jokowi-Megawati memiliki implikasi signifikan terhadap stabilitas politik Indonesia. Di satu sisi, keberhasilannya menjaga keseimbangan dapat memastikan kelangsungan program-program strategis pemerintah. Di sisi lain, kegagalan dalam mengelola konflik ini dapat memicu ketidakstabilan politik yang berpotensi mengganggu jalannya pemerintahan.

Prabowo dapat memanfaatkan perannya sebagai penengah untuk memperkuat dukungan dari berbagai elemen politik. Sikap netral dan bijaksana dalam menghadapi konflik dapat memperkuat citra Prabowo sebagai pemimpin yang mengutamakan kepentingan bangsa.

Posisi Presiden Prabowo di tengah konflik Jokowi-Megawati adalah ujian besar bagi kepemimpinannya. Keberhasilan dalam mengelola dinamika ini akan sangat menentukan stabilitas politik dan keberlanjutan program pemerintah. Dengan pendekatan netralitas aktif, pragmatisme, dan penguatan basis loyalitas, Prabowo memiliki peluang besar untuk mengubah tantangan ini menjadi peluang. Namun, ia tetap harus waspada terhadap risiko fragmentasi dan kritik publik yang dapat melemahkan pemerintahannya.

Apakah strategi ini cukup untuk menjaga stabilitas politik Indonesia di tengah konflik dua tokoh besar? Waktu yang akan menjawab, tetapi satu hal yang pasti: kepemimpinan yang bijaksana dan inklusif akan menjadi kunci keberhasilan Prabowo dalam menghadapi ujian ini.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News