Oleh: Lukas Luwarso
Fufufafa kembali berulah dan membuat onar, setelah kontroversi aksi Lapor Mas Wapres, Blusukan, dan Bansos Wapres. Keonaran baru yang ia buat adalah menyingkirkan barisan umat yang lagi sholat dan pidato “para-para”. Lagi-lagi menunjukkan perilaku tidak paham etika sosial-politik dan tidak tahu berbahasa yang benar. Intinya, memalukan.
Semakin gamblang Indonesia sedang dipaksa menelan buah Simalakama, buah malapetaka: yang dimakan atau tidak dimakan, dipersoalkan atau dibiarkan, tetap akan menimbulkan bencana Simalakama adalah metafor untuk menggambarkan situasi tanpa harapan, apapun pilihan yang diambil pasti berkonsekuensi buruk.
Dilema Simalakama ini khususnya sedang dihadapi Presiden Prabowo. Berpasangan dengan Fufufafa sebagai cawapres telah mengangkatnya menduduki kursi presiden. Namun terus berdampingan dengan wapres yang culun dan tidak kompeten ini bakal memunculkan banyak keonaran dan drama politik yang tidak produktif.
Situasi Simalakama yang dihadapi Prabowo semakin rumit karena faktor adanya “buah Kesemek”, bapaknya Fufufafa. Mantan yang setelah pensiun terus ingin cawe-cawe dan nitip-nitip merecoki pemerintahan Prabowo. Perecokan politik yang terus ia lakukan adalah untuk mengamankan posisi Fufufafa selaku wakil presiden, dan menyiapkannya menjadi presiden. Kalau-kalau “ada apa-apa” dengan kesehatan Prabowo sebelum masa jabatannya berakhir.
Buah Kesemek sukses mencangkokkan Fufufafa sebagai Wapres dan kemudian menjadi Simalakama bagi Presiden Prabowo. Situasi yang dilematis dan paradoksal, karena setiap pilihan membawa konsekuensi. Memangkas Fufufafa akan menyebabkan kegaduhan politik dan pemerintahan (terkesan “habis manis sepah dibuang”). Tapi membiarkannya tumbuh berkembang bakal menjadi ancaman bagi tumbuhnya tatanan pemerintahan yang baik, juga bagi Prabowo..
Fufufafa selain sebagai Simalakama, juga menjadi Benalu, melalui aksi-aksi nir-koordinasinya dengan presiden (agenda Lapor Mas Wapres, bansos, blusukan, dan lain-lain). Aksi-aksi yang bertujuan memupuk popularitas dan pencitraan diri, sembari menggerogoti dan menghisap saripati pemerintahan Prabowo.
Prabowo tidak perlu menelan dilema Simalakama atau Benalu Fufufafa, jika memiliki determinasi dan keberanian sikap. Tegas melepaskan diri dari hegemoni cawe-cawe, nitip-nitip, dan aksi-aksi “partai perseorangan” si Kesemek Jokowi, yang terbukti hingga saat ini masih punya pengaruh di aparat (Parcok) dan penyelenggara negara.
Prabowo bisa lepas dari dilema Simalakama, jika sungguh-sungguh berpihak ke rakyat. Ia tidak boleh mempertaruhkan Indonesia demi Fufufafa — apapun situasi politik yang membelitnya. Ia cuma punya satu jalan dan pilihan: membangun aliansi dengan rakyat, dukungan civil society, dan memperkuat independensi lembaga negara. Intinya memupuk transparansi dan tata pemerintahan yang baik (clean and good governance).
Prabowo perlu menjauhi politik pragmatis atau oportunis, jika ingin membangun legasi yang baik (bukan legasi banal seperti IKN). Pangkas ketergantungan pada elite partai dan oligarki ekonomi yang tersandera. Perkuat dukungan rakyat sebagai satu-satunya legitimasi untuk keberhasilan era pemerintahannya.
Simalakama Fufufafa, sebagai warisan Jokowi, tidak perlu berlanjut. Politik biner sempit, dukung-mendukung politik banal ala cebong vs kampret-kadrun era Jokowi, sudah harus ditinggalkan. Politik culas, licik, dan sprindik yang kembali menyuburkan praktek KKN, harus dilibas. Jokowi dan Fufufafa adalah “liability, bukan aset”, bagi Prabowo. Akan terus menjadi beban politik. Kepentingan rakyat Indonesia tidak semustinya dihadap-hadapkan sebagai pilihan dilematis vis a vis Fufufafa.
Fufufafa sebagai metafor buah Simalakama, seperti syair lagu D’lloyd: “Buah Simalakama, buah malapetaka; dimakan mati papa, tak dimakan mati mama”, tak perlu ada. Jika Prabowo mampu bersikap sebagai politikus yang teguh, tangguh, berbobot-non-gemoy, dan berkelas.