Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H, Advokat, Koordinator Tim Advokasi Melawan Oligarki Rakus Perampas Tanah Di PIK 2 (TA-MORPTR-PIK2)_
Setelah kurang lebih 2,5 jam perjalanan dari Jakarta, akhirnya kami memasuki kompleks Kesultanan Banten (Banten Lama), Jl. Syaikh Muhammad Al-Khidhir, Banten, Kec. Kasemen, Kota Serang, Banten 42191, pada Selasa kemarin (10/12). Saat memasuki kompleks, kami membuka kaca kendaraan dan melambaikan tangan kepada petugas penjaga, dan masuk komplek.
Kendaraan kami memutar, mengelilingi halaman alun-alun Masjid Agung Banten. Setelah memutar arah huruf U, akhirnya kami memasuki Ponpes Masaqotul Muntadzir asuhan KH. Tb Fathul Adzim.
Baru saja kami masuk, kami sudah disambut dengan spanduk besar di Ponpes, dengan tulisan:
“BANTEN BUKAN SINGAPURA, DAN SELAMANYA TIDAK AKAN PERNAH MENJADI SINGAPURA”
Tentu saja, redaksi spanduk ini ada kaitannya dengan kunjungan kami dan sejumlah tokoh ke kediaman KH. Tb Fathul Adzim. Kami datang dalam rangka advokasi kasus perampasan tanah rakyat oleh oligarki property PIK-2, yang saat ini perkaranya telah bergulir di pengadilan.
Sesampainya di kediaman beliau, kami disambut langsung oleh Sohibul Bait, KH. Tb Fathul Adzim. Berkah pula, ternyata Sultan Banten Ratu Bagus Hendra Bambang Wisanggeni Soerjaatmadja, juga sudah hadir menyambut kami.
Tentu saja, penghubung kami yakni Bapak Makmun Muzaki yang menjembatani, juga sudah hadir. Mantan Danpam Swakarsa era Soeharto ini, juga datang bersamaan dengan kami.
Kami berdialog, sambil menunggu tim lainnya. Sejurus kemudian, ‘Pendekar Penentang PIK-2’ Bang Said Didu tiba. Ada Bang Edy Mulyadi, Bu Menuk Wulandari (ARM), ada dari UI WATCH, ada Bu Julia Satari dan Bang Juju Purwantoro, ada Bang Kurtubi (Jawara Lapangan), ada sejumlah Jawara-Jawara Banten, Korban Perampasan Tanah PIK-2, dan banyak lagi. Ada sekitar 40 an perserta yang hadir.
Bahkan, adapula Charlie Chandra, Warga keturunan Tionghoa (China) yang menjadi korban perampasan tanah PIK-2. Dalam pertemuan, Charlie menuturkan kisah pilunya, yang memiliki tanah dengan bukti SHM lebih dari 30 tahun tidak bermasalah, tiba-tiba dirampas PIK-2.
Bahkan, Charlie juga bercerita tentang sosok Aguan, Ali Hanafiah Lijaya, hingga sosok Muannas Alaidid, yang terlibat dalam pusaran kasusnya. Cerita tentang ayahnya yang sempat menjadi tersangka, juga dirinya yang akhirnya masuk penjara karena membela hak atas tanahnya.
Kehadiran Charlie ini sekaligus menepis tuduhan, perlawanan pada oligarki PIK-2 memiliki tendensi rasis. Karena dalam kasus ini, korban perampasan tanah bukan hanya pribumi asli, melainkan juga etnis keturunan China. Penulis sendiri, juga punya klien Etnis (China Benteng) yang juga menjadi korban kerakusan Aguan.
Acara dibuka dan dipandu oleh Bapak Makmun Muzaki, yang pelaksanaannya digeser ke aula disamping kediaman KH Tb Fathul Adzim. Dari pengantar yang disampaikan, penulis jadi tahu betapa tolerannya peradaban Islam Banten.
Konon, perayaan besar masyarakat Banten dilakukan dengan hidangan daging kerbau. Tradisi Banten, menyembelih kerbau untuk perayaan besar, ternyata dilatari semangat menghormati umat Hindu yang mengkultuskan Sapi. Ratusan tahun, umat beragama hidup rukun di wilayah Kesultanan Banten.
Sultan Banten Ratu Bagus Hendra Bambang Wisanggeni Soerjaatmadja, dalam penyampaiannya menegaskan tidak anti pembangunan. Tetapi, hanya mempersoalkan caranya, yang merampas tanah rakyat dan menghilangkan peradaban kesultanan Banten dengan ciri khas budaya Islam.
“Kami tidak anti pembangunan, tetapi yang kami persoalkan adalah caranya”, begitu ungkapnya.
Menurutnya, amanah integrasi wilayah Kesultanan Banten menjadi Wilayah NKRI, adalah agar tanah Banten digunakan untuk kesejahteraan rakyat, tanpa meninggalkan peradaban Islam yang menjadi ciri khas Banten. Jadi, spanduk bertuliskan ‘BANTEN BUKAN SINGAPURA, DAN SELAMANYA TIDAK AKAN PERNAH MENJADI SINGAPURA’ adalah pesan tegas kepada PIK-2, agar segera menghentikan proyek ‘Singapuraisasi Banten’.
KH Tb Fathul Adzim, kembali menegaskan komitmennya, yang sebelumnya telah disampaikan oleh KH Hafidzin, dalam pertemuan di Krajeg, Tanggerang, beberapa waktu lalu. Intinya, beliau siap dan akan selalu membersamai perjuangan rakyat Banten membela hak, dan melawan kezaliman.
KH Hafidzin ini sendiri, ternyata Mertua dari Ust Anung Al Hamat. Klien penulis, yang penulis bela, saat difitnah sebagai teroris bersama Ust Farid Okbah dan Ust Ahmad Zain an Najah.
Adapun Bang Said Didu, kembali menegakkan rasa syukurnya. Rasa syukur, bahwa saat ini dia tidak sendirian berjuang. Sebelumnya, dirinya merasa berjuang sendirian.
“Saat ini, saya bahagia karena perjuangan ini sudah diperjuangkan rakyat Banten, selaku pemilik tanah” tegasnya.
Dalam penyampaiannya, Bang Said Didu menegaskan bahwa ‘Banten Kembali Merdeka’. Ungkapan ini mewakili kelegaan, karena akhirnya PIK-2 membuka data yang berstatus PSN hanya seluas 1.755 hektar di Wilayah Kosambi. Selebihnya, bukan PSN.
Karena itu, segenap rakyat Banten harus tegas membela hak atas tanahnya. Sekaligus mempersoalkan Aguan dan korporasinya, apa dasar hukum Aguan menggusur tanah rakyat? Menimbun sawah, empang, hingga sungai, termasuk memagari pantai dan laut?
Adapun Bang Edy Mulyadi, menambah ghirah/semangat perjuangan. Bang Edy ini, selain penggugat prinsipal juga adalah koordinator media, yang mengkomunikasikan narasi perjuangan melawan kezaliman proyek PIK-2.
Akhirnya, giliran penulis yang menyampaikan pandangan. Beberapa substansi penyampaian, dalam forum tersebut, yang penulis sampaikan sebagai berikut:
Pertama, penulis tegaskan bahwa apa yang menimpa warga Banten, korban proyek PIK-2, adalah perampasan tanah. Dengan definisi merampas tanah adalah mengambil tanah dari pemiliknya tanpa keridhoan, baik tidak ridho karena tidak diberi ganti rugi, tidak ridlo karena tanah di hargai murah, tidak ridlo karena mata pencaharian dari tanah hilang, dll.
Kedua, perjuangan melawan kezaliman PIK-2 ini harus ada sinergi antara divisi litigasi dan mitigasi lapangan. Penulis juga mempersilahkan, Bang Juju Purwantoro selaku Ketua Tim Mitigasi, untuk menjelaskan kepada masyarakat agar tak ragu untuk melapor. Kami juga sudah siapkan spanduk, baliho, dan poster posko, lengkap dengan nomor kontak person yang bisa dihubungi.
Ketiga, sinergi dengan masyarakat Banten, termasuk dengan Ulama dan Kesultanan Banten, menjadi syarat mutlak dan penting, untuk mengikat perjuangan.
Keempat, wasiat agar amanah dalam perjuangan. Sebab, tantangan perjuangan bukan hanya ancaman, melainkan juga uang.
Kelima, agar menancapkan iman didada, agar orang zalim takut untuk melawan. Sebab, orang beriman akan menjadi pemberani, sepanjang iman ada di dadanya. Orang kafir dan zalim, pengecut dan takut kepada orang yang beriman.
Jadi, orang beriman akan tetap menjadi pemberani sepanjang iman ada di dadanya. Namun, jika iman itu dikeluarkan dari dadanya, dan dadanya disesaki dengan dunia, maka keberanian itu akan sirna dan berubah menjadi pengecut.
Waspada, pada upaya orang kafir dan zalim, yang berusaha membuat orang beriman pengecut, dengan membawa harta, untuk mengisi dada orang beriman dengan dunia, dan mengeluarkan iman dari dadanya.
Alhamdulilah, bahagia dan lega rasanya hadir dalam acara tersebut. Yang lebih lega dan bahagia, adalah bahwa kami telah mengembalikan perjuangan penyelamatan tanah Banten kepada pemiliknya, yaitu Sultan Banten, Ulama Banten, dan Rakyat Banten.
Kehadiran Sultan Banten Ratu Bagus Hendra Bambang Wisanggeni Soerjaatmadja, KH Tb Fathul Adzim, Aktivis Banten Bapak Makmun Muzakki, Bang Kurtubi, KH Hafidzin, Jawara Banten dan Warga Bateng dalam pertemuan, menjadi penanda perjuangan ini telah dikembalikan kepada yang paling berhak. Kedepan, sinergi perjuangan warga Banten dan Rakyat NKRI yang tak ridlo Indonesia di Singapura-kan, Indonesia di Chinaisasi, semoga bisa menginspirasi perjuangan rakyat NKRI lainnya, baik di Rempang, Papua, Kalimantan, Sulawesi, dan wilayah lainnya.
Di akhir acara, sebelum berpamitan pulang, kami membuat foto dan video bersama berlatar spanduk perlawanan. Dipimpin oleh Sultan Banten Ratu Bagus Hendra Bambang Wisanggeni Soerjaatmadja, secara bersamaan kami meneriakan yel-yel dan memekikan takbir.
“BANTEN BUKAN SINGAPURA, DAN SELAMANYA TIDAK AKAN PERNAH MENJADI SINGAPURA”
“ALLAHU AKBAR! ALLAHU AKBAR! ALKAHU AKBAR!”