Sistem pengkaderan partai politik di Indonesia masih amburadul. Indikasinya, yang dicalonkan parpol di Pilkada hingga Pilpres bukan kader partai. Politik dinasti juga terjadi di semua partai politik. Indikasi lainnya, semakin banyak kepala daerah yang didukung partai politik terlibat tindak pidana korupsi.
Kesimpulan ini disampaikan pendiri Haidar Alwi Care (HAC) Haidar Alwi dalam diskusi di channel “Haidar Alwi Out of The Box” (08/12/2024).
Menurut Haidar, salah satu tujuan Reformasi 1998 adalah menghilangkan korupsi yang telah menggerogoti Indonesia. Namun demikian, sejak reformasi hingga saat ini korupsi justru semakin menggila. Di mana, jumlah kepala daerah yang terlibat korupsi semakin banyak.
“Saya tidak ingin menyalahkan sistem multi partai atau sedikit partai. Sistem pengkaderan partai politik di Indonesia ini masih amburadul. Masih mencari bentuk semua. Indikasinya, yang dicalonkan justru bukan kader, utamanya untuk menjadi pemimpin. Baik itu kepala daerah ataupun presiden,” beber Haidar.
Soal sistem multi partai di Indonesia, Haidar berharap segera dibuat kajian untuk menentukan sistem politik yang paling sesuai dengan kondisi saat ini.
“Sistem di Indonesia ini multi partai, tetapi ujungnya satu partai. Apalagi tidak ada yang menyatakan oposisi. Sejatinya parpol hanya dipakai di awal Pemilu saja. Begitu salah satu menang, mereka bergabung lagi. Ini tidak tepat kalau dikatakan ini sistem politik multipartai. Partainya satu saja. Yakni, partai jabatan dan kepentingan. Rakyat di mana? Rakyat ditinggal,” sesal Haidar.
Haidar menambahkan, anggota DPR ataupun DPRD yang terpilih dalam Pemilu Legislatif seharusnya membawa aspirasi rakyat yang memilihnya. Hanya saja, pelibatan masyarakat pemilih selesai setelah pemenang pemilu diumumkan.
“Semua tahu kalau di DPR ataupun di DPRD itu bagi-bagi proyek. Pelibatan rakyat selesai setelah pemenang pemilu diumumkan. Banyak yang harus dibenahi, karena rakyat hanya sekedar sebagai penonton saja. Kita bisa lihat, mau ketemu anggota dewan sulit, antriannya panjang. Mau dikasih wadah apapun susah untuk bisa ketemu pejabat. Partai politik hanya dipakai 5 tahun sekali, setelah menang mereka asyik sendiri,” tegas Haidar.
Haidar mengingatkan, sebagai akibat dari gagalnya sistem pengkaderan di parpol, citra parpol secara keseluruhan menjadi semakin buruk di mata masyarakat.
“Kepercayaan masyarakat kepada partai politik terus berkurang. Partai dinilai hadir pada saat akan pemilu saja. Setelah pemilu, rakyat kocar-kacir cari makan sendiri-sendiri. Sementara di tubuh partai koalisi terjadi rebutan kursi, ketua fraksi, menteri, direksi dan komisaris BUMN. Semua partai minta jatah setelah memenangkan pemilu. Demikian juga di Pilkada, begitu jagoannya menang pada rebutan proyek. Ini semua semakin lama semakin menggila. Sementara tokoh-tokoh yang bukan berlatar belakang atau berafiliasi ke partai, tokoh nasional, profesional, nunggu dipanggil. Kalau tidak dipakai ya ngganggur saja,” ungkap Haidar.
Haidar Alwi menyebut partisipasi pemilih di Daerah Khusus Jakarta di Pilkada 2024 sebagai contoh rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap partai politik.
“Pilkada Jakarta tingkat partisipasinya hanya sekitar 60%. Ini hanya yang memilih, belum yang kartu suara tidak sah. Artinya yang menang di Jakarta adalah yang tidak memilih. Ini harus diperbaiki sebelum pemilu 2029. Harus dipastikan bahwa dalam pencoblosan itu pemilih bener-benar memilih partai atau orang benar-benar mewakili aspirasi pemilih berdasarkan wilayah atau daerah pemilihannya. Tidak usah munafik, pemilih mencoblos pihak yang memberikan serangan fajar dan lainnya,” kata Haidar.
Sebagai solusi, Haidar menegaskan peran partai politik perlu dikebiri. Saat ini partai politik terlalu dominan mengatur siapa saja yang bisa duduk di kursi DPR maupun DPRD.
“Peran parpol perlu sedikit dikebiri. Partai terlalu dominan sehingga bisa seenaknya saja. Ini dianggap sebagai hal yang biasa, masyarakat juga tidak peduli. Kalau semua ini diatur secara jelas dalam peraturan perundangan tentunya para petinggi partai tidak bisa seenaknya sendiri. Misalnya yang terjadi di wilayah Jawa, di mana caleg urutan nomor tiga bisa menggesar caleg nomor 1 dan 2 karena yang bersangkutan cucu dari ketua umum salah satu partai politik. Petinggi partai meminta caleg nomor 1 dan 2 untuk mundur, karena caleg nomor 3 harus menang. Fungsi pengawasan DPR,” pungkas Haidar.