Harmonisasi Zakat dan Wakaf Menyelesaikan Persoalan Umat

Harmonisasi zakat dan wakaf sebagai kunci untuk menyelesaikan persoalan umat secara holistik. Dengan kolaborasi yang baik antara masyarakat, pemerintah, dan lembaga pengelola, potensi ekonomi Islam ini dapat dioptimalkan untuk menciptakan kesejahteraan umat.

“Harmonisasi zakat dan wakaf bisa menyelesaikan persoalan umat. Bisa mensejahterakan anak bangsa. Pemerintah bekerjasama dengan lembaga zakat dalam bentuk regulasi. Perlu penyiapan SDM dalam harmonisasi ini,” kata Ketua STIE SEBI Sigit Pramono dalam “Islamic Philanthropy Outlook 2025: Towards Harmonization of Zakat and Waqf Management in Indonesia”, Rabu (4/12/2024).

Ketua Forum Zakat (FOZ) Wildhan Dewayana mengatakan, harmonisasi zakat dan wakaf sangat penting karena kedermawanan warga Indonesia nomor satu di dunia. “Zakat dan wakaf belum tergarap maksimal. Harmonisasi ini menjawab problematika lokal hingga global,” tegasnya.

Program filantropi Islam melalui zakat dan wakaf, kata Wildhan sangat selaras dengan program Sustainable Development Goals (SDGs). “90 persen program filantropi selaras dalam kontribusi yang kuat untuk bangsa,” tegasnya.

Ia mengutarakan, pengelolaan zakat dan wakaf seolah berjalan sendiri-sendiri mulai dari perizinan, penelitian hingga program. “Padahal di level Kementerian Agama satu naungan,” ungkapnya.

Wildhan mencontohkan Inisiatif Zakat Indonesia (IZI) telah mengintegrasikan zakat dan wakaf seperti Klinik Hemodialisa, Inisiatif Boarding School. “Model seperti ini menjanjikan masa depan,” papar Wildhan.

Direktur Akademizi Nana Sudiana mengatakan, kata harmonisasi seperti ketika melaksanakan kemah. Saat mendirikan kemah sulit tetapi selesai dan sampai di rumah mudah diceritakan. “Artinya mudah diucapkan sulit dilaksanakan. Saat ini banyak lembaga zakat tetapi dampaknya belum terasa,” ungkapnya.

Kata Nana, ada problem di internal lembaga zakat seperti kesejahteraan amil. “Internal lembaga zakat diselesaikan dulu sebelum harmonisasi dengan wakaf,” papar Nana.

Nana mengusulkan Kementerian Zakat dan Wakaf di Indonesia untuk mengoptimalkan potensi besar umat Islam ini. “Kementerian Zakat dan Wakaf menjadi harapan baru dalam menyelesaikan persoalan umat,” jelasnya.

Dosen STIE Adril Hakim menyoroti penurunan penghimpunan lembaga amil zakat. “Kasus lembaga filantropi Islam dibubarkan, juga kejadian di negara tetangga. Dunia filantropi bergantung trust (kepercayaan). Adanya pemotongan dana oleh lembaga filantropi, standar renumerasi dan lifestyle pengurusnya, penggunaan untuk investasi di Malaysia di properti. Menjadi bagian isu filantropi terkait menurunnya donasi,” tegasnya.

Dalam membangun kepercayaan publik, kata Adril, lembaga filantropi harus hadir dengan penguatan mikro ekonomi. lembaga filantropi harus jualan seperti korporasi. “Apalagi masyarakat punya pilihan berdonasi. Ada yang di bawah Kemensos dan Kemenag,” tuturnya.

Direktur Puskas Baznas RI Muhammad Hasbi Zaenal mengungkapkan, ada masalah jika kabupaten di Jawa penghimpunan Baznas hanya Rp 1 miliar selama setahun. “Artinya tidak ada sosialisasi dan literasi di tingkatan kelurahan dan desa oleh Baznas kabupaten,” ungkapnya.

Hasbi mencontohkan Baznas Ciamis bisa mengumpulkan infak di desa-desa. “Zakat, infak, sedekah yang dari desa untuk warga desa seperti mengatasi masalah pendidikan, kesehatan, ekonomi,” tegas Hasbi.

Hasbi mengusulkan pemerintah membuat Nomor Pokok Wajib Zakat (NPWZ) sebagai bentuk kesadaran dalam membayar pajak. “Orang yang mau mendaftarkan label halal harus punya NPWZ,” ungkapnya.

Kasubdit Pengamanan Aset Wakaf Kemenag Jaja Zarkasyi mengatakan, wakaf di Indonesia lebih dari Mesir. “Di Mesir wakaf hanya terfokus di Al Azhar tetapi di Indonesia ada Muhammadiyah, NU, lembaga-lembaga lain,” ungkapnya.

Ia juga mengungkapkan, Kemenag tengah melakukan pemetaan mitigasi sengketa perwakafan melalui tiga program utama, yakni integrasi data sengketa perwakafan, sertifikasi mediator, dan sosialisasi regulasi perwakafan. “Kami berkomitmen untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam penanganan sengketa perwakafan melalui kerja sama yang solid dengan Badilag MA,” ungkap Jaja Zarkasyi.

Jaja Zarkasyi menyebut sejumlah kendala dalam program sertifikasi tanah wakaf.

“Hasil evaluasi dua kementerian ini melihat setidaknya tiga kluster yang menjadi kendala dalam program percepatan sertifikasi tanah wakaf,” ujar Jaja.

Kluster pertama adalah adanya ketidaksesuaian antara ukuran yang tertera dalam Akta Ikrar Wakaf/Akta Pengganti Akta Ikrar Wakaf (AIW/APAIW) dengan peta bidang BPN, di mana luas tanah yang tercatat kerap tidak sesuai dengan pengukuran BPN.

Kluster kedua, belum terintegrasinya sistem administrasi, seperti kesulitan BPN dalam melakukan validasi Surat Keputusan pergantian nazir oleh Badan Wakaf Indonesia (BWI) yang berdampak pada efektivitas pengelolaan administrasi wakaf.

Sementara kluster ketiga terkait perbedaan kebijakan pengukuran tanah di berbagai daerah, beberapa di antaranya membebaskan biaya pengukuran sementara yang lainnya masih memungut biaya.

Terkait itu, Jaja menambahkan, dua kementerian menyepakati tiga tindakan strategis untuk penanganan isu-isu wakaf dan pertanahan.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News